REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Sabrina (25) mengambil satu bungkus keripik ubi lalu mencampurnya dengan kuah satai yang tersaji di atas piring beralas daun pisang. Mengaduk sebentar lalu menyuap dengan lambat, seakan ingin menikmati setiap detik saat kuah gurih itu menggoda indra perasa di lidahnya.
Itu adalah piring keduanya dalam setengah jam terakhir. Ia tidak menyangka satai dengan kuah keemasan itu terasa begitu pas di lidahnya.
Sabrina dari Jawa Tengah. Ia suka kuliner yang manis. Karena itu ia ingin mencicipi kuliner khas di Padang, tapi dengan cita rasa agak manis. Setelah buka-buka "mbahgoogle" baca tiga hingga empat referensi, ia memutuskan memilih sate.
Satai itu, sate Itjap, salah satu kuliner khas di Padang, Sumatera Barat. Laman tripadvisor.co.id merekomendasikan sate itu sebagai satu dari 10 restoran halal di Sumbar. Ulasannya cukup menggoda dengan embel-embel rasa manis yang gurih.
Dan Sabrina memang tidak kecewa. Kuah keemasan yang dituang di atas ketupat dan beberapa tusuk daging benar-benar mampu menggoda selera. Ia mengambil beberapa foto untuk dibagikan di instagramnya. Ia ingin teman-temannya juga merasakan "nikmat"-nya satai itu.
Sebentar saja satai itu tandas, hanya tinggal piring kosong dan dua bungkusan keripik singkong yang sudah kosong. Sabrina duduk tersandar. Kekenyangan. Matanya lekat menatap layar ponsel yang sejak tadi tidak berhenti "berdenting".
Unggahan tentang satai itu disukai banyak orang. Banyak pula komentar yang masuk. Sabrina bahagia. Ia merasa perjalanan ke Padang itu menjadi salah satu pengalaman wisata terbaiknya.
Selain pengalaman wisata kuliner yang "membahagiakan" itu, Sabrina juga mencatat sesuatu yang dirasa menggelitik rasa ingin tahunya: wisata halal.
Frasa itu pertama kali menarik perhatiannya saat berselancar di dunia maya mencari referensi tentang kuliner di Padang. Beberapa laman menawarkan kuliner yang menarik dengan ulasan yang menarik pula. Namun, perhatiannya cenderung tertarik pada label wisata halal.
Wisata halal itu seperti apa? Setidaknya ia ingin mencoba pengalaman untuk menikmati wisata itu, agak sekali saja. Itu mungkin saja akan menjadi pengalaman menarik yang bisa diulasnya di media sosial.
Menjajal tempat kuliner yang direkomendasikan sebagai restoran halal oleh laman tripadvisor.co.id ternyata sangat memuaskan. Pelayanan, kebersihan dan harganya, oke. Tidak mengecewakan.
Besoknya, Sabrina mengincar "open trip" ke Kawasan Wisata Mandeh. Spot-spot cantik di objek wisata itu telah lama wara-wiri di instagramnya dan ia ingin menikmati pengalaman menikmati hamparan laut biru dengan gradasi yang memukau, hamparan pulau-pulau yang menghijau dan langit yang cerah itu.
Ia juga ingin menjajal wisata ke pulau-pulau cantik itu. Satu hari cukuplah. Namun karena ia hanya sendiri, terpaksa mencari paket "open trip". Sekalian untuk upaya penghematan.
Paket itu ia temukan pada sebuah laman yang cukup ramah dibuka di ponsel. Laman itu pun langsung terkoneksi ke layanan whatsapp sehingga bisa langsung konfirmasi. Rp 250 per orang untuk mengeksplorasi Mandeh terasa cukup menggoda. Apalagi, paket itu tidak mensyaratkan jumlah wisatawan. Satu orang pun berangkat. Keren!
Sabrina merasa bersyukur teknologi informasi sudah berkembang demikian pesat. Ia tidak bisa memikirkan bagaimana cara bisa berwisata dengan menyenangkan, tetapi berbiaya murah, seperti sekarang tanpa teknologi.
Wisatawan milenial seperti Sabrina dan teknologi, menurut Menteri Pariwisata Arief Yahya adalah "keyword" untuk masa depan pariwisata dunia.
Dalam Indonesia Tourism Outlook (ITO) 2019 di Hotel Borobudur Jakarta, November 2018, ia menyebut 50 persen wisatawan mancanegara yang ke Indonesia adalah milenial.
Sementara di pasar Asia, pariwisata didominasi wisatawan milenial berusia 15-34 tahun, yang mencapai 57 persen. Di China, generasi milenial akan mencapai 333 juta orang, Filipina 42 juta, Vietnam 26 juta, Thailand 19 juta, sedangkan Indonesia 82 juta orang.
Indonesia harus bisa menyesuaikan diri untuk bisa merebut pasar wisatawan dunia tersebut, di antaranya dengan mengelola objek wisata agar memiliki spot utuh. Tak hanya indah di kamera, tetapi juga indah di pandangan mata. Selain itu paket tour hingga calendar of event (CoE) ke depan harus diubah sesuai selera milenial.
Ranny Rastati dalam "Wisata Halal Jepang dalam Perspektif Wisatawan Milenial Muslim Indonesia" yang dipublikasikan dalam Jurnal Kajian Jepang Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia (PSJ UI) 2018 mengidentifikasi milenial sebagai generasi yang fasih teknologi dan internet karena mereka lahir pada masa internet mulai digunakan.
Mereka juga dikenal sebagai generasi yang berpikiran global, toleran pada perbedaan budaya, dan menggunakan media sosial untuk berhubungan dengan orang-orang di seluruh dunia.
Milenial adalah generasi yang lebih memilih hiburan sebagai kebutuhan pokok. Mereka lebih suka membeli pengalaman dan melakukan perjalanan atau wisata untuk mendapatkan pengetahuan baru.
Sebagai generasi yang fasih teknologi, milenial akan mencari dan membandingkan beberapa referensi sebelum memutuskan untuk berwisata. Daerah yang mengusung pakem wisata halal, seperti Sumbar, tentu memiliki peluang besar untuk bisa menarik wisatawan milenial itu.
Tim Calencer of Event Kementerian Pariwisata, Tazbir menyebut wisata halal adalah sebuah jaminan bagi wisatawan untuk mendapatkan segala hal terbaik yang bisa didapatkan saat berwisata, baik akses, amenitas maupun atraksi.
Bagi wisatawan Muslim berarti akses untuk beribadah selama berwisata terjamin, mulai dari tempat ibadah hingga petunjuk arah kiblat. Kuliner juga dipastikan bersih, higienis, sehat dan tentu saja halal.
Sementara untuk wisatawan non-Muslim, wisata halal berarti mendapat jaminan tempat istirahat yang bersih dan nyaman, kuliner yang sehat serta tawaran harga yang wajar alias tidak menipu.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sumbar Maulana Yusran menyebut banyak pihak terjebak dalam persepsi yang salah tentang wisata halal dengan mengidentifikasinya sebagai zona wisata syariah.
Padahal wisata halal itu memberikan akses kepada wisatawan Muslim untuk menunaikan ibadah. Sementara untuk wisatawan non-Muslim, tidak dipaksa pula harus berlaku sesuai syariah Islam. Mereka tetap bisa mengonsumsi makanan atau minuman sesuai keinginan mereka.
"Jadi wisata halal itu bukannya membatasi wisatawan non-Muslim untuk berwisata. Semua diakomodasi dalam konsep itu," katanya.
Sayangnya perkembangan wisata halal di Sumbar juga masih berjalan lambat. Wakil Gubernur Nasrul Abit menilai belum seluruh komponen di daerah itu serius untuk mengembangkan potensinya, sebagian besar karena tidak punya pemahaman yang sama tentang wisata halal.
Meski bisa dikatakan hampir seluruh restoran di Sumbar menjual kuliner halal, namun baru tercatat 22 restoran yang telah bersertifikasi.
Ke depan ia berharap semua pihak bisa saling bahu membahu agar wisata halal semakin membumi di Ranah Minangkabau, karena konsep itulah yang dinilai paling sesuai untuk daerah yang masih kental adat dan agama itu.