REPUBLIKA.CO.ID, - Eropa tak melulu bermuka masam dan mencemooh cara berbusana tertutup umat Muslim. Memang sejumlah negara di benua itu melarang penggunaan jilbab di tempat publik dan fasilitas umum, seperti Prancis dan Belgia, namun ketika populasi muslim kian berkembang dan jilbab mulai melebur dengan fesyen, munculah gaya berbusana santun tapi elegan. Jilbab pun mulai diperhitungkan.
Gelombang baru para wanita berpendidikan tinggi, tak segan menyuarakan pendapat dan aktif secara sosial menjadi pelaku utama. Mereka mulai meninggalkan tradisi berpakaian ala ibu mereka--yang sebagian besar generasi pertama imigran. Besar bahkan lahir di Eropa, para wanita tadi mencampurkan identitas kampung halaman baru mereka dan ciri khas Muslim dalam gaya berbusana.
Mereka melapiskan tunik di atas celana panjang. Membungkus jilbab dengan bandana, mencocokan warna kerudung dengan boot berhak tinggi. Semua menampilkan aturan cara berpakaian Islami yang mewajibkan menutup semua kecuali wajah dan tangan (dalam hal ini cadar dan jilbab masih menjadi hal diperdebatkan) dan tetap tampil chic, moderen dan tidak kolot.
Itu pula yang dilakukan Saadia Boussana, pengarah gaya dengan gaya jilbab tak biasa. Bisa jadi dalam pandangan barat, sulit diasosiasikan dengan gaya konvensional Muslim yang kerap menuai cibiran.
Wanita berusia 30 tahun itu luwes melebur dengan profesional muda lain di kedai Starbucks yang penuh sesak di bilangan Paris. Ia sungguh mengenakan jilbab tapi dengan sentuhan elegan dipadu celana jins dan kemeja hitam berbordir, demikian Religion News Service melaporkan.
"Ada waktu saya benar-benar berbusana sangat ekstravagansa, semua tergantung waktu dan tempat," ujar manajer komunikasi My Woman Magazine (MWM), media online baru berbasis di Prancis yang menyasar segmen wanita Muslim.
Menurut Emama Tarlo, pakar antropologis Inggris dan pengarang buku "Visibly Muslim: Fashion, Politics, Faith” ada gelombang baru di kalangan wanita muslim muda, “Mereka menggunakan fesyen untuk melawan stigma jilbab sekedar politik, tradisional, atau simbol kealiman,” ujarnya. “Mereka modern dan mereka ingin dilihat sebagai orang moderen,” imbuhnya.
Gerakan gaya berbusana modis tapi santun itu sebagian besar, menurut Emma dijumpai di Inggris di mana keragaman budaya lebih ditoleransi ketimbang bagian lain Eropa. Sejumlah desainer muda seperti Sarah Elenany, Sophia Kara dan Hana Tajima bahkan mencuri perhatian klien non-Muslim, karena para desainer dinilai menawarkan gaya manis, sleek, warna dan potongan tajam, elegan dan tampilan utuh
Namun, Tarlo juga melihat tren gaya berbusana macam itu di Swedia, Berlanda, Denmark, dan Jerman, negara-negara di mana Muslim tidak selalu diterima baik. Prancis dengan reputasi besar untuk haute couture—teknik mendesain dan menjahit adibusana tingkat tinggi—dan populasi Muslim diperkirakan 6 juta sebenarnya adalah pasar menjanjikan. Namun, kata Tarlo, iklim sekuler ketat di negara itu menjadi benturan utama.
Dalam atmosfer yang dipenuhi skeptisisme dan kadang sikap keras terang-terangan terhadap Islam, banyak membuat wanita Muslim konservatif takut bersuara. Kondisi itu mendorong sebagian dari mereka cenderung kian dekat dengan intepretasi aturan berpakaian Islami lebih tradisional.
“Di Inggris dan di Amerika Serikat, wanita muslim memiliki kompleksitas lebih sedikit. Mereka suka berpakaian bagus, ujar direktur eksektif MWM, Chahira Ait Belkacem. “Di Prancis kadang upaya wanita Muslim untuk tampil chic bisa dpandang buruk begitu mereka memasukkan unsur identitas Islam,” ujarnya.
Namun prespektif itu perlahan bergeser. Ketika banyak wanita Muslim tak lagi mengenakan cadar, melebur bersama orang-orang di tempat umum, rekan-rekan mereka yang konservatif mulai melongok ke toko-toko busana beken seperti Zara dan HM, sebagian karena didorong penampilan teman Muslim mereka yang trendy.
“Kami menyaksikan para wanita Muslim intelektual, berbudaya dan sepenuhnya besar di budaya Barat yang tentu saja ogah mengenakan busana buruk. Mereka termasuk para konsumen yang mencari gaya tas terbaru,” ujar pendiri satu situs berita, Mariame Tighanime, 22 tahun. yang juga menyasar segmen Muslim
Selain situs yang ia kelola, “Hijab and the City”, ia juga menerbitkan majalah. “Kami ingin memberi suara kepada muslim,” ujar Tighanime. “Pembaca kami merentang mulai dari wanita bercadar hingga yang tidak, non-Muslim, Afrika Utara hingga Turki. Kami terbuka terhadap semua prespektif.” ujarnya.
Di Belanda, beberapa gelintir desainer Muslim, ambil contoh Cindy van den Bremen, yang memasarkan pakaian berpotongan ramping, licin dan sporty, mengaku terjun dalam bisnis karena tertantang secara kreativitas memadukan nilai Islam dan Barat.
“Saya menyadari kadang masalah timbul bukan karena jilbab itu melainkan cara berjilbab yang dianggap tidak aman,” ujar Bremen yang mendesain jilbab ramah-sport. Beberapa tahun setelah meluncurkan desainnya, van Bremen mulai memasarkan label Capster yakni penutup kepala, lewat Internet. Animonya diluar dugaan. Ia mendapat pesanan tidak hanya dari Belanda tetapi juga negeri jauh seperti Dubai dan Maldives.
Tarlo menilai wanita Muslim muda yang sadar akan fesyen dan ingin tampil modis bekerja keras mengembangkan gaya jilbab menarik. Aksi mereka pun menjadi salah satu topik bahasan. “Jika orang-orang bertanya tentang pakaian mereka, banyak wanita Muslim tadi yang menyambut hangat kesempatan tersebut untuk memaparkan pemikiran mereka. Namun, masih saja stereotipe lama susah mati.