Rabu 26 Sep 2012 09:51 WIB

Urban Farming (1), Tak Sekadar Gaya Hidup Hijau

Rep: Siwi Tri Puji/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Urban Farming
Urban Farming

REPUBLIKA.CO.ID, Tak ada lahan bukan alasan untuk tidak bertanam. Gerakan urban farming membuktikannya. Sudah dua tahun ini Lina berswasembada sayur-mayur untuk keluarganya. Padahal, wanita pekerja yang tinggal di Tangerang Selatan ini awalnya tak bakat bertani. Lahan pun tak punya.

Pelatihan bercocok tanam yang diselenggarakan sebuah lembaga swadaya masyarakat, mengubah semuanya. Ia mengolah “lahan” ukuran 4 X 4 meter di halaman depan rumah tipe 42 miliknya, yang selama ini dibiarkan kosong. Bayam, kangkung, sawi, dan bawang ditanamnya dalam pot-pot bertingkat. Ia juga bertanam tomat, pare, dan cabe rawit. “Tak perlu menunggu lama, empat bulan kemudian, hasilnya sudah bisa dinikmati,” akunya.

Gerakan urban farming, istilah untuk bercocok tanam tanaman pangan di perkotaan, menggejala di berbagai belahan dunia. Di Amerika Serikat, Ibu negara Hillary Clinton menyulap salah satu bagian pekarangan White House sebagai kebun sayuran. Ia juga aktif mengajak rakyatnya untuk gemar bertanam.

Tak tahu caranya memulainya? Hillary bermurah hati berbagi cara berkebun melalui buku yang ditulisnya, American Grown.

Amerika sebetulnya agak ketinggalan dalam hal ini, karena urban farmin telah lebih dulu dikembangkan di beberapa kota besar di Jepang, Jerman, dan belakangan Cina.

Negara-negara Asia juga mulai terjangkit “virus” menanam ini. Bahkan di Bangkok, beberapa gedung pemerintahan kini menyulap atap sebagai ladang pertanian. “Hasilnya, berupa sayur-mayur dan buah dijual dan uangnya masuk ke kas pengelolaan gedung,” kata Gayatri K Rana, kepala Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan Nasional RI, yang belum lama ini berkunjung ke kota itu untuk berbicara dalam sebuah lokakarya.

Teknik aplikasi bertani secara vertikal juga diajarkan di ruang kelas di AS

Bukan gagasan baru

Teknik aplikasi bertani secara vertikal juga diajarkan di ruang kelas di AS

Sebetulnya, pertanian vertikal adalah ide lama. Penduduk asli di Amerika Selatan telah lama menggunakan cara vertikal dengan teknik tumbuh berlapis, dan sistem pertanian di Asia Timur mengikuti prinsip yang sama. Tapi, sekarang, populasi global yang berkembang pesat dan sumber daya semakin terbatas membuat teknik ini menjadi lebih menarik dari sebelumnya.

Revolusi Hijau dari akhir 1950-an meningkatkan produktivitas pertanian dengan kecepatan tinggi. Sampai saat ini, industri pertanian masih bisa menjaga dengan baik kebutuhan pangan warga bumi yang terus membengkak.

Tetapi para ilmuwan memperingatkan bahwa produktivitas pertanian memiliki batas-batas tertentu. Terlebih lagi, sebagian besar tanah di mana makanan bagi warga dunia ini disemai, makin berkurang. Konversi lahan pertanian untuk menjadi daerah permukiman hingga kawasan industri terjadi dimana-mana.

Pada tahun 2050, PBB memprediksi bahwa populasi global akan melampaui 9 miliar orang. Mengingat tingkat produktivitas pertanian saat ini, maka lahan pertanian yang luasnya setengah dari wilayah Amerika diperlukan untuk memberi makan populasi yang lebih besar. Ini tentu dengan catatan, tak ada insiden perubahan cuaca yang ekstrem dan kekeringan panjang yang akan membuat runyam segalanya.

Pertanian vertikal memiliki potensi untuk memecahkan masalah ini. Istilah ini diciptakan pada tahun 1915 oleh ahli geologi Amerika Serikat, Gilbert Ellis Bailey. Arsitek dan ilmuwan telah berulang kali melihat gagasan tersebut sejak saat itu, khususnya menjelang akhir abad ke-20. Pada tahun 1999, Dickson Despommier, seorang profesor ilmu lingkungan, kesehatan, dan mikrobiologi di Columbia University serius mengembangkannya bersama para mahasiswanya.

Mereka menyulap Manhattan menjadi lahan pertanian. Dari ide awalnya adalah "pertanian di atas atap," budidaya tanaman di atap yang datar. Mereka berhitung, padi yang ditanam di beberapa gedung bertingkat di kota itu, mampu memberi makan 2 persen penduduk Manhattan. "Jika tidak dapat dilakukan dengan menggunakan atap, kenapa tidak kita hanya menumbuhkan tanaman di dalam bangunan?" Despommier bertanya.

Dengan banyaknya bangunan bertingkat tinggi yang kosong, Manhattan adalah lokasi yang sempurna untuk mengembangkan ide itu. Dari percobaannya, satu gedung bertingkat 30 lantai yang ditanami aneka sayur-mayur di setiap celah yang memingkinkan hingga ke atap, berhasil memberi makan sekitar 50 ribu orang.

Dan, secara teoritis, jika 160 bangunan saja yang dimanfaatkan untuk bertani, maka akan mampu memberi seluruh warga New York makanan sepanjang tahun.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement