REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Sejarah Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN), Muhammad Arief, menyarankan agar sejarah ditulis secara sastra. Tak lantas ditulis sembarangan, Arief pun mengajukan syarat-syarat agar sejarah bisa ditulis menjadi karya sastra.
Menurutnya, sejarah yang akan ditulis tidak boleh keluar dari substansi. Tokoh lain yang berada di dalam karya sastra tersebut hanya menguatkan bukan menubah jalan cerita.
"Usahakan menulis tidak tergoda dengan interest pribadi dan hindarkan diri dari perasaan kelompok," ujar Arief yang ditemui di acara bedah buku 'Seteru 1 Guru'.
Tulisan, kata dosen ini, juga harus tetap berpegang pada nilai nasionalis. Selain itu, sejarah yang dijadikan karya sastra harus membuat para pembacanya berempati kepada tokoh cerita. "Harus bisa menjadi inspirasi bagi kita semua," ujar Arief.
Yang paling penting tidak mengubah sejarah besarnya dan tidak membuat penipuan. Di sisi lain, penulis novel sejarah 'Seteru 1 Guru' Haris Priyatna tertarik menulis soal ini karena menemukan fakta yang menarik tiga ideologi besar -sosialis, marxisme dan Islam.
Ternyata para tokoh pendahulunya berguru pada satu guru. "Tidak banyak yang tahu gurunya sama. Karena PKI dan Islam radikal dahulu zaman orde baru tidak boleh dibicarkan," kata Haris
Acara bedah buku 'Seteru 1 Guru' digelar di Universitas Islam Negeri Jakarta pada Jumat (22/5). Buku tersebut berisi pergulatan antara Soekarno-Musso-Kartosuwiryo. Ketiga orang tersebut sama-sama pernah berguru kepada H.O.S Tjokroaminoto.