REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setidaknya ada 11 rahasia yang membuat novel “Ayat-Ayat Cinta” (AAC) sukses dan menjadikan penulisnya, Habiburrahman El-Shirazy, sebagai miliarder. Pertama, orisinalitas. Kedua, detil yang menggoda.
Contoh detil itu adalah keindahan sungai Nil yang sulit dilupakan, lengkap dengan segala pernak-perniknya, termasuk musik khas Mesir. ‘’Nun jauh di sana cahaya lampu-lampu rumah dan gedung-gedung dekat sungai Nil tampak berkerlap-kerlip diterpa angin. Sayup-sayup kami mendengar bunyi irama musik rakyat mengalun di kejauhan sana. Mungkin ada yang sedang pesta. Alunan itu ditingkahi puja-puji syair sufi. Khas senandung malam delta Nil.’’ (hlm 72)
Habiburrahman adalah seorang penulis yang sangat romantis. Ia mampu menuliskan kisah romantis namun dalam bingkai akhlak Islam dengan begitu indahnya. Simak saja beberapa di antaranya: ‘’Mata kami sekilas bertemu dan hati diliputi rasa malu yang luar biasa.’’ (hlm 210)
Saat pertama kali melihat wajah Aisha tanpa mengenakan cadar, Fahri terpana: ‘’Yang ada di depanku ini seorang bidadari ataukah manusia biasa. Mahasuci Allah, Yang menciptakan wajah seindah itu. Jika seluruh pemahat paling hebat di seluruh dunia bersatu untuk mengukir wajah seindah itu tak akan mampu. Pelukis paling hebat pun tak akan bisa menciptakan lukisan dari imajinasinya seindah wajah Aisha….’’ (hlm 214-215)
‘’Pandangan kami bertemu. Dan ces! Hatiku seperti ditetesi embun dingin dari langit….’’ (hlm 215) ‘’Aku mencuri pandang melihat Aisha. Ia menundukkan kepalanya. Bulu matanya yang lentik bergerak-gerak.’’ (hlm 215)
Aisha menggoda suaminya (Fahri) lewat telepon seusai menikah dan menjelang malam pertama mereka (malam zalaf): ‘’Kasihku, aku yakin kau belum tidur. Kau tidak bisa tidur. Kau pasti sedang memikirkan aku. Ya ‘kan?’’ Dan klik. Diputus. Aku belum sempat menjawab.’’ (hlm 242)
Selama dalam perjalanan menuju tempat walimah dan duduk berduaan di mobil mewah, Fahri tak berani menyentuh istrinya (Aisha). Hal itu membuat Aisha gemes. ‘’Ia meletakkan tangannya di atas telapak tanganku. Dengan ragu-ragu aku memegang tangannya. Dan hatiku berdesir hebat. Inilah untuk pertama kalinya aku memegang tangan halus seorang gadis.’’ (hlm 244)
Seusai walimah, Fahri dan Aisha berfoto di tempat pengantin wanita: ‘’Aisha minta digendong dan disuapi kue. Lalu minta dibopong dan digendong. Ia juga minta difoto dalam gaya-gaya dansa. Ada-ada saja. Ia sangat mesra dan manja.’’ (hlm 244)
‘’Selama dalam perjalanan kami diam tanpa bicara apa-apa, namun tangan kami erat berpegangan.’’ (hlm 244) ‘’Aisha menyandarkan kepalanya di pundakku. Aku merasakan suasana yang sangat indah.’’ (hlm 245)