REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sudah lebih 10 tahun, novel “Ayat-Ayat Cinta” (AAC) yang ditulis oleh Habiburrahman El-Shirazy dan diterbitkan oleh Republika Penerbit bertengger sebagai salah satu novel Indonesia terlaris. Setidaknya ada 11 rahasia yang membuat novel AAC sukses dan menjadikan penulisnya sebagai miliarder.
Pertama, orisinalitas. Novel yang ditulis alumnus Al-Azhar University Kairo, Mesir ini menampilkan sesuatu yang baru dan asli, baik dari segi latar belakang cerita maupun latar belakang tempatnya. Kedua, detilnya yang menggoda.
Kunci sukses ketiga novel AAC adalah konflik yang kuat. Sebuah novel yang bermutu harus mempunyai konflik yang kuat. Konflik itulah yang mengikat pembaca untuk membaca cerita itu hingga akhir, sebab mereka ingin tahu bagaimana penyelesaian konflik cerita tersebut.
Konflik yang kuat itu dapat kita rasakan saat membaca novel AAC. Pada awal-awal novel, pembaca meraba-raba apakah Fahri mencintai Nurul. Kemudian berkembang menjadi pertanyaan, siapakah gadis yang dicintai oleh Fahri: Nurul, Aisha atau Maria. Lalu, muncul pula nama Noura.
Ada episode ketika Fahri berangan-angan memperistri Nurul, namun perasaan itu segera ditepisnya jauh-jauh. Ia hanyalah mantan pembantu kiai, tidak pantas mempersunting anak seorang kiai besar. ‘’…. Memiliki istri salehah adalah dambaan. Tapi … ah, aku ini pungguk dan dia adalah bulan. Aku ini gembel kotor dan dia adalah bidadari tanpa noda.’’ (hlm 140)
‘’Dia adalah putri seorang kiai besar, pengasuh pesantren besar di Jawa Timur. Dan seorang kiai biasanya telah memilih besan sejak anaknya masih belum bisa berjalan.’’ (hlm 207) ‘’Aku ini orang Jawa. Di Jawa, seorang khadim kiai dan batur santri, anak petani kere, mana mungkin berani mendongakkan kepala apalagi mengutarakan cinta pada seorang putri kiai.’’ (hlm 232)
Ketika Fahri sakit dan dirawat di rumah sakit, Nurul menjenguknya. ‘’Wajah itu Nurul. Ya Nurul. Ketika aku bangun dari ketidaksadaran, aku melihatnya, tak jauh dari kakiku bersama teman-temannya. Kulihat sekilas wajahnya sendu…. Ketika dekat dengan diriku ia menatapku dengan penuh iba dan sorot mata yang aku tidak tahu maknanya. Kedua matanya berkaca-kaca dan sendu. "Cepat sembuh, Kak. Cepat selesaikan masternya dan cepat mengabdi di tanah air tercinta,’ katanya terbata-bata.’’ (hlm 183-184)
Di sisi lain, ketika Madame Nahed (ibunda Maria) menanyakan apakah Fahri sudah punya calon istri, dengan bergurau Fahri menjawab, ‘’Kebetulan tidak ada gadis yang mau dekat denganku. Tak ada yang mau mengenalku dan baik padaku. Yang baik padaku malah Maria. Bagaimana Madame, kalau calonnya Maria?’’ (hlm 143)