REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Ajang "Menari 24 Jam" sangat lekat dengan Institut Seni Indonesia Surakarta. Sejak 10 tahun silam, dalam rangka memperingati Hari Tari Dunia tiap tahunnya, ISI Surakarta menggelar pesta tari yang dikemas dalam konsep menari satu hari penuh tersebut.
Setiap tahun minat dan apresiasi masyarakat, baik lokal maupun internasional terus meningkat. Bahkan di tahun ini acara melibatkan lebih dari 6.000 penari.
Joko Aswoyo, Ketua Umum "Menari 24 Jam" 2016 mengatakan, apa yang pihaknya lakukan hingga saat ini merupakan proses panjang. Berawal dari mencari ide untuk melestarikan dan mengangkat tari tradisional Indonesia.
"Di Solo itu banyak sekali pertunjukan. Tapi bagaimana kami bisa memunculkan yang beda, akhirnya kami temukan menari selama 24 jam yang kemudian menjadi virus. Banyak institusi dan kelompok lain melakukan hal yang sama," ujar Joko Aswoyo, Kamis (28/4) kemarin.
Bisa bergulir hingga saat ini dikatakan Joko sebagai satu keberhasilan yang tinggi. Namun ide yang mereka temukan 10 tahun lalu silam sudah tidak lagi sekadar ajang repetisi. Namun satu ketulusan yang konsisten dari masyarakat yang terlibat dalam tari.
"Bagi kami ini adalah sebuah nilai, sudah beranjak dari konsep waktu (repetisi ajang,red) tapi satu proses pergulatan. Kami terus berdiskusi tentang tari di dalamnya," kata dia.
Dalam kemasannya "Menari 24 Jam" tidak lagi menjadi ajang milik institusi pendidikan, tapi masyarakat luas.
"Untuk pertunjukan kita mencoba rangkul bersama, dari anak sampai yang tua untuk berkarya. Kami coba kemas, ibarat makanan rumahan dikemas menjadi sesuatu yang menarik. Kita garap dan kelola betul," ujar Joko.
Hal ini menurutnya sangat penting, karena usaha pelestarian harus dicoba dari anak-anak.
"Bahwa tari tidak hanya untuk kelompok atau koreografer tertentu, tapi bagi masyarakat. Ajang ini buat kami adalah pembelajaran, menjadi satu laboratorium tari yang besar," ujar Joko.