REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Kini komikus mengalami kesulitan untuk mencari penerbit dan distributor yang bisa menerbitkan karyanya secara rutin. Kalaupun ada hanya bisa dihitung dengan jari.
"Sekarang bila ada penerbit komik biasanya bukan pebisnis, melainkan jalur suka-suka atau indi,’’ kata Hasmi, komikus dari Yogyakarta yang dikenal dengan karyanya berjudul “Gundala”.
Berbeda halnya penerbitan komik di tahun 1970-an, seorang komikus bisa dengan mudah menunjukkan karyanya dengan sekian eksemplar, kata dia. Di tahun 1980 komik di Indonesia mati, 1985 sekarat, tahun 1990-an tidur, tahun 2000 komik di Indonesia mulai menggeliat lagi dan tahun 2010 sudah mulai bangkit.
Dia mengakui sebetulnya sekarang banyak komik yang bagus-bagus, tetapi sulit mencari penerbit dan distributor. Kalau pun ada penerbit komik biasanya bukan pebisnis. Mereka tidak memikirkan kembali modal. Dikatakan Hasmi, distributor komik besar saat ini bisa dihitung jari, seperti Gramedia. Menurutnya menjadi distributor tunggal bisa semena-mena dengan siapapun.
Sekarang justru komikus yang menjadi penerbit, kata dia yang kini yang menerbitkan komiknya dosen dari UGM yang hobi membaca komik. "Sekarang kalau hidup saya hanya dari komik saja tidak bisa bertahan hidup, karena gaptek (red. gagap teknologi). Sekarang saya mencari uang dari berbagai profesi, sebagai pemain film, pembuat naskah film, dan sebagainya,’’ tuturnya.
Namun ia tidak menampik, saat ini banyak komikus yang masih muda-muda dan menerbitkannya di media sosial, komiknya sangat berkualitas dan bisa menjualnya sampai ke Amerika, Perancis dan Belanda.