REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Psikolog Pendidikan, Karina Adistiana mengapresiasi adanya perguruan tinggi yang menerima mahasiswa anak berkebutuhan khusus (ABK). Salah satunya Universitas Gunadarma, Depok, Jawa Barat. Dengan begitu, Gunadarma membuka kesempatan untuk para penyandang disabilitas untuk memperoleh ilmu di kampus tersebut.
Di sisi lain, masih banyak perguruan tinggi yang tidak mau menerima ABK di kampusnya. Hanya saja untuk menerima ABK ini tidaklah mudah, pihak perguruan tinggi harus menyiapkan berbagai hal terkait ABK ini. Menurutnya, terkait kasus ABK penyandang autisme yang menjadi korban perundungan oleh temannya di wilayah kampus, ini terjadi karena pihak kampus lupa menyiapkan paradigma inklusi di dalamnya, bukan hanya fasilitas fisik.
Jadi, paradigma bahwa teman-teman disabilitas mempunyai hak yang sama. Paradigma inklusivitas, bukan hanya fasilitas fisik, tapi persoalan civitas akademika, baik dosen, mahasiswa, staf, dan lainnya melihat inklusi adalah hal yang sewajarnya
dilakukan. Pemenuhan itu termasuk hak ketika ABK membutuhkan sesuatu untuk bisa mengikuti pelajaran dengan baik. Pendidikan inklusi butuh kerja sama seluruh pihak.
“Zaman dulu anak berkebutuhan khusus diurusinya oleh Kementerian Sosial, sementara sekarang enggak. Karena sejak ada konferensi khusus tentang penyandang disabilitas dan itu sudah diratifikasi oleh Indonesia, maka pemenuhan hak-haknya teman-teman disabilitas itu menjadi kewajiban seluruh warga negara. Nah itu yang seringkali tidak tersosialisaiskan, bahwa sekarang ini kita melihat teman-teman disabilitas bukan lagi sebagai bagian dari masyarakat yang terpinggirkan, tapi punya posisi yang sama untuk dipenuhi haknya. Tapi memang teman-teman disabilitas butuh strategi khusus untuk menyesuaikan diri,” papar perempuan yang sapa disapa Anyi kepada Republika.co.id.
Menurut Anyi, walaupun perundungan bukan dilakukan pada anak yang bukan disabilitas, ada mahasiswa lagi jalan ditarik tasnya oleh temannya, orang lain tidak ada yang membela. Anyi tidak habis pikirkan bagaimana bisa di instansi pendidikan terjadi hal seperti itu. Ini menunjukkan sangat kurangnya empati, dimana orang hanya menonton dan tertawakan.
“Kampus-kampus itu perlu menyiapkan mahasiswanya untuk punya paradigma inklusif. Bahwa teman-teman disabilitas itu bukan masyarakat yang perlu dipinggirkan dan tidak berhak mendapatkan pendidikan seperti mereka. Hanya saja mereka memang mungkin butuh strategi tertentu dan itu adalah kewajiban semua orang di atas 18 tahun untuk memenuhi hak itu,” jelasnya.