Selasa 18 Jul 2017 09:01 WIB

Miskin Keteladanan Sebabkan Perilaku Perundungan

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Indira Rezkisari
Bullying/ilustrasi
Foto: Foto : MgRol_93
Bullying/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Orangtua penyintas perundungan Asep Sapa'at mengatakan, kasus perundungan pada anak berkebutuhan khusus di Kampus Gunadarma sangat memilukan hati. Sebab pelaku perundungan adalah mahasiswa, yang seharusnya sudah bisa bersikap dewasa.

"Maha mestinya bermakna sesuatu yang extraordinary, menunjukkan kualitas pikir dan sikap melampaui para siswa," kata Asep.

Asep menilai, ada empat hal yang perlu diperhatikan terkait kasus semacam itu. Pertama, perilaku perundungan kerap dilakukan kelompok yang biasanya memiliki pentolannya. Sementara yang lain, dia melanjutkan, hanya ikut-ikutan mendukung sang pentolan.

Dia mengatakan, institusi harus fokus mengajar dan mendidik kelompok anak muda tersebut. "Mempertahankan sikap merundung pihak lain adalah ciri sikap mereka yang lemah, bingung, tidak aman. Mereka hrs dibantu untuk sanggup menerima hal-hal baru yang positif, seperti menghargai perbedaan dan tak merampas hak orang lain," katanya.

Asep yang juga sebagai pemerhati guru melanjutkan, pelaku perundungan cenderung memiliki persoalan dalan hal kedisiplinan. Mereka, dia katakan, suka mengabaikan dan melanggar aturan, seperti bolos, tak mngerjakan tugas, melawan nasihat orangtua atau guru.

"Prestasi akademik mereka jeblok. Hal ini merupakan pesan tersirat yang gagal dipahami orangtua atau guru. Sikap ini dianggap pembangkangan. Maka, mereka harus dihukum," katanya.

Dia mengatakan, hukuman dijatuhkan tanpa argumentasi logis yang bisa dipahami anak sebagai bagian dari ikhtiar mendidik. Karena ketidakdewasaan orangtua atau guru, anak yang perilakunya bermasalah malah 'diasingkan' bukan diberikan 'perhatian' istimewa. Ini, dia melanjutkan, karena guru lebih nyaman dan suka memperhatikan anak yang baik serta berprestasi unggul.

Ketiga, Asep mengatakan, dunia pendidikan tidak berhasil membentuk pribadi anak yang bertanggung jawab. Ini, katanya, lantaran keluarga dan sekolah tak bisa jadi mitra sinergis dalam mengembangkan pribadi anak yang dewasa. Selain karena orangtua atau guru miskin keteladanan, situasi pengajaran lebih dominan daripada situasi pendidikan.

"Mengajarkan tentang perundungan itu mudah, tetapi membentuk pribadi yang dewasa menyikapi dan menghargai perbedaan. Semakin bias nilai-nilai kehidupan di keluarga dan sekolah membuat proses mendewasakan pribadi anak makin terjal jalannya," katanya.

Terakhir, dia menatakan, pengajaran di sekolah dan kampus miskin 'pengalaman belajar' serta 'refleksi belajar' atas setiap pengalaman belajar anak. Diakatanyannya, anak tak memiliki kesan mendalam dari setiap proses belajar yang telah terjadi.

"Alih-alih makin memahami identitas dari hasil dari proses belajar, anak-anak malah makin frustrasi karena memersepsikan belajar sebagau beban akademik yang menyulitkan hidupnya," katanya.

Sebelumnya, sebuah video beredar dan menjadi viral. Video itu memperlihatkan aksi perundungan kepada seorang pemuda berkebutuhan khusus. Tas pemuda itu ditarik oleh mahasiswa lainnya, dan pemuda disabilitas itu juga berusaha melepaskan diri sembari berjalan cepat menghindar.

Dalam video, mahasiswa lain di sekeliling yang melihat kejadian, terdengar malah ikut menertawakan. Bahkan, tidak ada tanda-tanda bantuan dari orang-orang sekeliling yang menyaksikan kejadian tersebut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement