Rabu 27 Sep 2017 19:26 WIB

Makin Banyak Pria di Jepang Menunda Jadi Ayah

Rep: Christiyaningsih/ Red: Indira Rezkisari
Survei terbaru menunjukkan warga muda Jepang makin banyak memilih untuk tidak menikah.
Foto: AP
Survei terbaru menunjukkan warga muda Jepang makin banyak memilih untuk tidak menikah.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Usia pria di Jepang ketika pertama kali menyandang predikat sebagai ayah kian hari kian tertunda. Dewasa ini, pria yang baru menjadi ayah tatkala menginjak usia 50-an makin umum ditemui. Tren ini sejalan dengan merosotnya angka pernikahan usia muda di Negeri Sakura.

Semakin tua umur pria ketika menjadi ayah, semakin ia cepat merasa lelah jika bermain dengan anaknya. Tidak hanya faktor usia yang menjadi kekhawatiran. Kesehatan dan jaminan kesejahteraan usai pensiun juga melahirkan kecemasan tersendiri.

Di lain pihak, menurut Profesor Yasushi Oyabu dari Departemen Psikologi Waseda University di Tokyo, menjadi ayah di usia senja punya sisi positif.

"Para pria yang baru memiliki anak di usia paruh baya cenderung lebih mapan dan dewasa dalam mengasuh anak-anaknya daripada ayah muda," ujar Oyabu.

Pengalaman ini dirasakan oleh Makoto Arakaki seorang profesor di Okinawa Christian University. Di usia yang kini menginjak 51 tahun, ia memiliki anak perempuan berusia dua tahun bernama An. Istrinya berusia 33 tahun dan bekerja sebagai guru SMP.

Setiap hari sang istri berangkat sebelum pukul 07.00. Konsekuensinya, Arakakilah yang bertugas membangunkan putrinya dan membuatkan sarapan. Setelah itu Arakaki harus mengantarkan An ke tempat penitipan anak. "Ini sangat melelahkan," katanya dilansir dari The Japan Times, Senin (25/9).

Di samping disibukkan dengan mengurus balita di usia senja, Arakaki juga dibayangi kecemasan lain. "Apakah orang tua anak lain mengira aku ini kakek An? Bisakah aku tetap sehat sehingga bisa menonton pertandingan olah raga An di sekolah kelak? Apakah penghasilanku masih cukup untuk membiayainya hingga dewasa? Jika An menikah apakah aku masih hidup sehingga bisa menyaksikan ia di pelaminan?" setumpuk pertanyaan itu mengendap di benak Arakaki.

65 adalah usia pensiun di institusi tempatnya bekerja. Namun Arakaki berharap dirinya diizinkan mengulur usia pensiun. Arakaki menikah di usia amat matang. Saat lajang ia fokus meniti karier dan membangun jejaring internasional. Ketika An lahir, fokusnya pun bergeser. Kini Arakaki menempatkan An sebagai prioritas di atas segalanya.

Berdasarkan survei demografi oleh Kementerian Kesejahteraan, Buruh, dan Kesehatan Jepang, rerata usia ayah di Jepang semakin menua. Pada 2015 pria di negara ini baru menjadi ayah di usia 32,7 tahun.

Di tahun yang sama, pria yang baru menjadi ayah di usia 50-an mencapai 3.357 orang. Angka ini meroket jika dibandingkan satu dekade sebelumnya yang hanya tercatat 1.121 orang. Bahkan, pria yang menjadi ayah saat menginjak 60 tahun juga terekskalasi dari 95 ke 292 orang.

Sepanjang 2015, kaum adam di Jepang baru memutuskan menikah rata-rata saat memasuki usia 37 tahun. Sedangkan para wanitanya memilih usia 29 tahun sebagai saat yang tepat untuk membangun rumah tangga.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement