REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tenun ikat dayak memiliki motif yang penuh makna. Salah satu motif paling populer adalah motif manusia. Untuk membuat satu kain tenun membutuhkan waktu hingga berbulan-bulan untuk proses pembuatannya. Sayangnya kain ini terancam punah karena jumlah penenun yang terus berkurang dan minimnya edukasi dalam desain dan penjualan.
"Keunggulan tenun ikat dayak adalah nilai sejarahnya. Bagaimana ceritanya, nilai suatu sejarah, nilai suatu budaya. Tenun ikat sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Namun sekarang agak bergeser gara-gara generasi muda tidak mau karena pekerjaannya rumit, lama, perlu fokus dan banyak yang tidak kenal motif," jelas pemilik Galeri Tenun Ikat Dayak, Fifiyati.
Namun Galeri Tenun Ikat Dayak miliknya kini berusaha mengembalikan minat para penenun. Mereka mendampingi sejak tahun 2012 di Kapuas Sulu dan sekarang sudah puluhan penenun, sedangkan di Sintang mulai tahun 1999 dari awalnya hanya delapam penenun, sekarang 1.000. "Kami mendampingi enam desa enam dusun di Kecamatan Batang Lupar, Ranjak Deras,
Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Di satu rumah betang, perempuan-perempuan dayaknya kami ajari lagi membudakankan bahwa mereka harus menenun lagi. Membudayakan warisan leluhur, mereka harus menggiatkan dan melestarikan menjaga apa yang mereka punya," tambahnya.
Beruntung kini banyak pelatihan yang diberikan untuk meningkatkan keterampilan dan kualitas tenun ikat dayak lewat program Rumah Kreatif BUMN BNI Pontianak sehingga tenun ikat dayak bisa mendunia hingga ke Eropa, seperti Italia. "Kami terbantu sekali adanya pembinaan kewirausahaan sehingga tenun dayak kini mulai dilirik di luar Indonesia, seperti Italia, Jepang dan Singapura. Mereka sangat suka sekali kearifan lokal, mereka sungguh antusias dan membeli. Kami sudah setahun dibantu BNI, kami dibantu banyak hal, pembinaan mitra UKM-nya, pembinaan kewirausahaannya, e-commerce, dan pembinaan seperti ikut ekspo. Untuk peningkatan UKM itu sendiri," tambahnya.
Banyak juga pelanggan yang membeli produk tenun ikat dayak melalui pasar daring. Umumnya masyarakat luar Indonesia lebih menyukai kain tenun ikat yang masih mentah atau belum dijadikan busana apapun. Untuk harga tenun ikat dayak ini sangatlah variatif, kain puakumbuh mulai Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta dengan panjang sekitar satu setengah kali dua meter.
Selain bahan mentah adapula yang sudah menjadi pakaian, dompet, sandal, tas, sarung bantal, pasmina, syal, album dan lainnya. Untuk pasmina, syal, dan lainnya harganya dibawah Rp 1 juta. Harga sekitar Rp 55 ribu sampai Rp 1,5 juta. Tenun dayak cocok untuk semua usia.
"Asal motif tertentu yang tidak boleh digunakan untuk umum seperti manusia, naga dan lainnya. Motif ini jarang diperjualbelikan. Kebanyakan mereka untuk koleksi. Motif paling laris, binatang seperti ular dan naga dengan warna-warna alam, warna lembut," ujarnya.