Jumat 10 Nov 2017 09:59 WIB

Membedah Karakter Milenial Akar Rumput

Rep: Christyaningsih / Red: Karta Raharja Ucu
Belanja online
Foto: Republika/Wihda Hidayat
Belanja online

REPUBLIKA.CO.ID, Istilah milenial terasa makin sering terdengar. Generasi yang satu ini merujuk pada kelompok usia 15-34 tahun yang lekat dengan gawai dan internet. Secara lebih spesifik lagi, milenial akar rumput dikategorikan sebagai milenial berpenghasilan rumah tangga di bawah Rp 5 juta per bulan. Golongan masyarakat yang satu ini pun menarik banyak pihak untuk lebih mengenal lagi karakter mereka secara lebih jauh.

Tidak hanya karena jumlah mereka yang cukup besar dalam populasi, tetapi juga karena mereka disebut-sebut memiliki karakter yang jauh berbeda dibandingkan generasi pendahulunya. Baruba ru ini, aplikasi media so sial berbasis lokasi, Yogrt, melalui studi ter barunya mengungkapkan, hanya sem bilan persen milenial akar rumput Indonesia yang memiliki ketertarikan terhadap isu politik.

Studi ini juga mengemukakan, hanya tujuh persen milenial akar rumput Indonesia yang tertarik pada topik literatur atau buku. Sebaliknya, hiburan menjadi bahasan yang paling digemari.

Sebanyak 45 persen meminati musik (tertinggi) dan 30 persen memilih film. Menariknya, subjek agama ternyata cukup mendapatkan animo milenial akar rumput Indonesia, yakni sebesar 28 persen. "Meski demikian, perlu digarisbawahi, minat terhadap agama tampaknya bukan akibat dorongan ideologis," ungkap Roby Muhamad, sosiolog bidang jejaring sosial sekaligus cofounder Yogrt. Minat terhadap agama ini, disebut Roby, berperan sebagai pelumas sosial. Artinya, topik pembicaraan soal agama berperan untuk memuluskan hubungan pertemanan.

Melibatkan sekitar 5.000 pengguna sebagai responden, Studi Yogrt 2017: Milenial Akar Rumput Indonesia digagas untuk memahami karakter psikografis dan minat generasi milenial khas Tanah Air. Roby menilai milenial akar rumput adalah pasar besar yang potensial. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencantumkan populasi berusia 15-34 tahun di Indonesia mencapai lebih dari 85 juta jiwa. Angka itu mencakup lebih dari 32,6 persen dari total 261,9 juta penduduk.

Riset Boston Consultant Group (BCG) menguak masyarakat Indonesia masih didominasi kelas berpenghasilan di bawah Rp 5 juta per bulan. Pada 2012 saja, jumlahnya melebihi 128 juta jiwa.

Pada 2020 nanti, jumlahnya diproyeksikan akan melebihi 90 persen dari keseluruhan penduduk. "Walaupun di media sosial isu politik ramai dibicarakan, nyatanya dalam pergaulan sehari-hari milenial akar rumput justru menghindari obrolan soal politik," ujar Roby.

Kondisi itu tak terlepas dari nilai-nilai prio ritas yang dikedepankan kelompok anak muda milenial. Merujuk pada survei yang sama, karak ter psikografis milenial akar rumput Indonesia saat ini ternyata sarat nilai kekeluargaan dan kebersamaan. Ada pula nilai konservatisme yang mempertahankan tradisi, stabilitas, dan keseragaman.

Sementara, nilai-ni lai pencapaian dan pres tasi serta mem peroleh kekuasaan berada di posisi buncit. Menurut Roby, kecenderungan itu berkorelasi dengan ting gi rendahnya tingkat pen didikan serta ke mam puan finansial yang terbatas.

Sebab, milenial Indonesia datang dari kalangan menengah ke atas yang menempatkan nilai prestasi dan kekuasaan sebagai prioritas. "Secara psikologis, kebutuhan kedua kelompok milenial itu berbeda karena lingkaran pergaulannya pun berbeda," kata pria yang juga dosen psikologi Universitas Indonesia ini.

Aktivitas digital

Berbicara aktivitas digital, milenial akar rumput Indonesia ternyata lebih dominan memanfaatkan internet sebagai sarana berinteraksi sosial. Persentase aktif di media sosial dan chatting sama-sama paling tinggi, yakni sebanyak 67 persen. Kemudian, diikuti mencari informasi atau browsing (47 persen), serta hiburan di mana 41 persen mendengarkan musik dan 30 persen menonton film.

Sayangnya, kegiatan berbelanja dan bertran saksi perbankan bergerak masih rendah. Masing-masing hanya 15 persen dan delapan persen.

Menurut Roby, milenial grassroot cenderung lebih menyukai belanja-belanja virtual, seperti stiker dan emoji. "Ini jadi potensi ekonomi digital karena stiker dan emoji dianggap mendukung percakapan dalam bersosialisasi via internet," pungkas Roby.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement