Rabu 06 Dec 2017 14:23 WIB

Harapan dalam Pernikahan Bisa Jadi Kebahagiaan Atau Bumerang

Rep: MGROL 99/ Red: Indira Rezkisari
Pasangan suami istri sedang melakukan pemotretan di hari pernikahannya.
Foto: EPA
Pasangan suami istri sedang melakukan pemotretan di hari pernikahannya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kembali pada zaman Jane Austen, perkawinan lebih sering terjadi seperti transaksi keuangan. Sesorang menikah untuk mencapai status sosial, stabilitas ekonomi, dan keamanan.

Tapi pernikahan modern telah berkembang menjadi kondisi yang beberapa peramal psikologi sebut sebagai "era ekspresif diri sendiri," suatu masa di mana kita mengharapkan pasangan kita untuk tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar kita, cinta abadi dan rasa memiliki. Tapi juga membantu dalam perjalanan menuju penemuan dan pemenuhan diri.

Kabar baiknya adalah bahwa penelitian menunjukkan adanya hubungan yang tumbuh antara kualitas hubungan dan kesejahteraan pribadi, yang berarti orang sekarang mengharapkan lebih banyak dari hubungan mereka daripada sebelumnya. Dalam beberapa kasus, standar yang tinggi dapat menyebabkan pernikahan yang lebih bahagia dan sehat.

Namun jika harapan tersebut hampir tidak mungkin dipenuhi karena jadwal kerja yang saling bertentangan, waktu yang dihabiskan untuk mengasuh anak, atau stres dari kehidupan sehari-hari, standar yang tidak realistis dapat menyebabkan hubungan tersebut menderita. James McNulty, PhD, peneliti dan psikolog di Florida State University mengatakan hubungan dinamis ini disebut "model mati lemas", pasangan menginginkan lebih dari hubungan mereka namun juga memiliki sedikit waktu dan energi untuk memelihara dan memenuhi harapan tersebut.

"Kepuasan pernikahan turun saat harapan tidak sesuai kenyataan. Bagi beberapa pasangan, itu berarti menurunkan harapan, tapi bagi sebagian lain itu malah membesarkan harapan," ujarnya, dikutip dari Reader's Digest.

Studi dilakukan oleh McNulty yang melacak hubungan 135 pasangan pengantin baru dari Tennessee selama empat tahun. Setiap pasangan menjawab survei yang mengukur harapan pernikahan dan tingkat kepuasan mereka. Hasilnya, pasangan yang melaporkan adanya sedikit permasalahan dan rendahnya perilaku destruktif akan lebih mungkin mencapai harapan akan kebahagiaan dari waktu ke waktu dibandingkan dengan mereka yang melaporkan masalah lebih parah dan tingkat perilaku destruktif yang lebih tinggi dari pasangan mereka.

Faktor kunci lain dalam memenuhi harapan tinggi ini adalah bagaimana cara pasangan berjuang. Pasangan yang secara langsung menangani masalah perkawinan mereka, saling menjelaskan bagaimana memperbaiki masalah akan lebih bahagia dan lebih mungkin merasa bahwa pernikahan mereka memenuhi harapan. Sebaliknya, pasangan yang sering melontarkan ucapan sarkastik, bertingkah seolah bermusuhan ketika ada konflik akan lebih sulit mengukur harapan pernikahan.

Standar yang tinggi dapat meningkatkan ikatan pernikahan, jika Anda dan pasangan dapat mengkomunikasikan segala permasalahan. Jika tidak, mungkin sudah waktunya untuk mengambil langkah mundur dan mengevaluasi ulang tuntutan pernikahan Anda yang tidak realistis.

McNulty menyarankan untuk menggunakan komunikasi terbuka atau mencari konselor hubungan untuk membantu Anda mengatasi masalah jika masalah tidak dapat dipecahkan. "Anda dapat mengerti, menyadari, dan menerima bahwa Anda tidak akan dapat mencapai semua manfaat yang telah Anda minta dari sebuah pernikahan," katanya.

Pakar lain merekomendasikan untuk bersandar pada orang yang dicintai di luar hubungan seperti teman baik untuk membantu mempromosikan kebutuhan Anda. Taktik ini akan mengurangi tekanan dari pasangan Anda dan menyebabkan hubungan yang lebih menyenangkan.

"Ketika Anda menempatkan pasangan Anda di atas tumpuan dan berpikir dia sempurna, tidak masalah jika pasangan Anda bisa mencapainya. Tapi kebanyakan tidak bisa, jadi ada kekecewaan," papar McNulty.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement