REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Semua orang selalu bersemangat membuat resolusi, meski belum tentu semua terealisasi. Sampai muncul anekdot kocak yang berbunyi, "Resolusi 2018: melanjutkan resolusi 2017 yang disusun sejak 2016 setelah direncanakan mulai 2015".
Ternyata, ada faktor psikologis yang menyebabkan resolusi tahun baru sulit tercapai. Berdasarkan sebuah statistik, 80 persen orang gagal melanjutkan resolusi yang dibuatnya sendiri mulai pekan kedua Februari.
Penelitian oleh Kaitlin Woolley dari Universitas Cornell dan Ayelet Fishbach dari Universitas Chicago mencermati hal tersebut secara khusus. Riset mereka dipublikasikan di jurnal Personality and Social Psychology Bulletin pada 2016.
Mereka menjumpai bahwa resolusi yang berhasil dilakukan harus menyenangkan dijalani sekaligus penting bagi kehidupan partisipan. Jika kedua faktor itu tidak terpenuhi, resolusi biasanya tidak bertahan lama.
Studi lain di jurnal Nature and Science menyoroti bahwa resolusi yang berkaitan dengan kesehatan lebih cenderung gagal. Menurut data yang dihimpun, hanya seperlima dari pembuat resolusi kesehatan yang berhasil mencapainya.
Menurut Seppo Iso-Ahola yang menyusun riset, masalahnya adalah pertarungan internal antara mana yang ingin dan harus dilakukan si penyusun resolusi. Profesor kinesiologi di Universitas Maryland itu menganjurkan tidak banyak berpikir dan langsung saja melakukannya.
Selain itu, pemilihan kata saat menuliskan resolusi juga berpengaruh terhadap keberhasilannya. Konsultan gaya hidup profesional Erin Falconer menyarankan untuk memakai kata "akan" atau will daripada "seharusnya" atau should.
Dengan begitu, seseorang berkomitmen mengambil tanggung jawab dan keputusan untuk dirinya sendiri. Penulis buku Rock Star Productivity tersebut juga menyarankan agar resolusi selalu dilakukan dengan hati senang, dikutip dari Business Insider.