REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaksanaan Pilkada Serentak yang akan berlangsung pada 27 Juni mendatang tentu akan menimbulkan banyak perbedaan, baik dari tiap lawan calon pemimpin daerah, partai hingga pendukungnya. Namun di 171 daerah pemilihan, tentu perbedaan pendapat menjadi hal yang wajar termasuk di media sosial.
Penggiat internet sehat, Damar Juniarto menuturkan bahwa pilihan-pilihan calon pemimpin tersebut memang dapat membuat masyarakat terbelah dalam polarisasi pendukung. "Dalam kondisi tersebut jika dilihat dari pengalaman sebelumnya banyak sekali bentuk kampanye termasuk kampanye hitam dan dalam kebebasan berekspresi tidak seharusnya melakukan kampanye hitam," kata Damar.
Menuturnya, kampanye hitam bukan hal yang baik dalam berdemokrasi. Berbeda dari kritik ketika seseorang melihat celah pada program yang kurang. "Sehingga ketika bicara soal moral atau segala macamnya, tidak ada kaitan langsung dengan pemilihan pemimpin," sambungnya.
Dia mempersoalkan bagaimana pemilihan pemimpin dilihat bukan pada kinerja, melainkan pada pusaran identitas. Perbedaan pada pusaran identitas ini yang menurutnya membuat banyak pihak yang saling menjatuhkan, bahkan hingga melakukan tindak kekerasan pada orang lain.
"Persoalannya bukan kesantunan tapi jangan sampai hanya karena perbedaan pendapat kemudian seseorang melakukan tidak kekerasan pada orang lain. Itu yang sebenarnya paling dikhawatirkan," lanjutnya.
Damar mencontohkan bagaimana media sosial dapat mendorong seseorang untuk melakukan tindakan kekerasan. "Misal dengan ungkapan-ungkapan yang kemudian menjadi ajakan-ajakan untuk melakukan kekerasan, seperti 'awas saja di jalan', itu kan sesuatu yang memancing kekerasan fisik dan tidak seharusnya terjadi pada media sosial seperti saat ini," tutupnya.