REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Pengamat militer, yang juga mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta Salim Said, Sabtu (10/2) hadir di Sanggar Sastra Balai Pustaka, Jakarta. Ia menyuntikkan semangat menulis kepada 120 anggota Sanggar Sastra Angkatan II yang sedang mengikuti program pelatihan menulis dan apresiasi sastra.
Dalam pertemuan yang dipandu Direktur Utama Balai Pustaka, Achmad Fachrodji itu, Salim Said, menegaskan, syarat utama seseorang menjadi penulis adalah membaca dan belajar.
"Saya tidak tahu kenapa akhirnya saya jadi penulis. Tapi dari kecil bapak saya menanamkan agar belajar. Banyak membaca. Anda harus berlatih menulis. Mulailah dari bawah," kata Salim Said, dalam rilis Balai Pustaka yang diterima Republika.co.id, Sabtu (10/2).
Kebiasaan membaca itu terus dilakukannya sampai sekarang. Ia mengaku sampai sekarang berlangganan beberapa media internasional secara online, seperti New York Times, Washington Post dan lain-lain.
Tapi Salim Said mengaku dirinya selalu gagal menulis cerita pendek. "Saya akhirnya lebih banyak beraktivitas sebagai komentator sastra, ketimbang penulis sastra," lanjut Salim Said yang dalam waktu dekat meluncurkan buku terbarunya yang diterbitkan Balai Pustaka.
Salim Said memulai karir sebagai wartawan radio di Sulawesi Selatan, kemudian hijrah ke Jakarta dan bekerja pada surat kabar Angkatan Bersenjata milik militer, sebelum kemudian bergabung dengan Majalah Tempo.
Menyinggung tentang perkembangan sastra pasca peninggalan kritikus sastra HB Jassin, Salim Said mengatakan, sastra Indonesia pernah seperti anak jalanan yang berkeliaran di mana-mana dan berusaha merebut kavling dalam sastra Indonesia.
"Dulu ada saringan oleh Jassin. Para penulis belum merasa sastrawan kalau karyanya belum dimuat Jassin di media. Begitu juga era Balai Pustaka, pengarang belum sah jadi pengarang sebelum karyanya diterbitkan Balai Pustaka," ujar Salim Said yang juga dikenal kritikus film dan telah melahiran banyak buku tentang perfilman Indonesia.
Era itu sudah berlalu. Saat ini tak ada lagi saringan. Semua orang bebas menerbitkan karya. "Yang menentukan adalah pasar. Apakah karya kita dibaca pasar atau tidak," ujar Salim Said membandingkan.
Ia menyebut ini sebagai bentuk perubahan zaman yang tak mungkin dielakkan. "Kalau pun masih ada Jassin, barangkali sekarang tidak dibutuhkan lagi," ujarnya.
Salim Said lahir di Pare-pare, Sulawesi Selatan, 10 November 1943. Selesai sekolah menengah pertama, Salim pindah ke Solo melanjutkan SMA dalam usia16 tahun. Ia melanjutkan kuliah di Fakultas Psikologi UI dan FISIP U. Kemudian melanjutkan program Magister di Ohio University dan memperoleh gelar Doktor dari universitas yang sama.
Salim Said adalah orang pertama Indonesia yang meneliti peran politik militer di Indonesia sebagai disertasi. Buku itu awalnya dilarang terbit di Indonesia, tapi kemudian diterbitkan oleh penerbit internadional di Singapura dan dibeli oleh perpusatakaan seluruh dunia.
Ia mengaku, mengenal sastra dari buku-buku terbitan Balai Pustaka. Salim Said saat ini diangkat sebagai advisor Balai Pustaka.
Sanggar Sastra Balai Pustaka diselenggarakan oleh Balai Pustaka bekerja sama dengan Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia (Kompi). Peserta berasal dari berbagai daerah di Jabodetabek, termasuk dari Karawang, Jawa Barat. Sanggar Sastra Balai Pustaka memberi pelatihan menulis puisi dan prosa serta apresiasi sastra.
Karya-karya para peserta akan presentasikan dalam bentuk seni musikalisasi puisi, dramatisasi puisi dan pameran puisi. Sanggar Sastra melibatkan penyair Fikar W Eda, Irmansyah, dan penggerak musikalisasi puisi Dediesputra dan Devie Komala Syahni. Program tersebut berlangsung dalam sembilan kali pertemuan.