Ahad 01 Jul 2018 17:54 WIB

Kreator Seni Rajut Artjog Asah Kreativitas di Pesantren

Memondok di pesantren tak disangka Mulyana justru mengembangkan bakat seninya.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Indira Rezkisari
Mulyana, seniman rajut dengan tema Sea Remembers yang menjadi bintang di Artjog 2018.  Mulyana berhasil memukau lewat karya-karya rajutan dengan tajuk instalasi bawah laut.
Foto: Republika/Wahyu Suryana
Mulyana, seniman rajut dengan tema Sea Remembers yang menjadi bintang di Artjog 2018. Mulyana berhasil memukau lewat karya-karya rajutan dengan tajuk instalasi bawah laut.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Nama Mulyana Mogus banyak dikenal usai karya instalasi laut bertajuk Sea Remembers miliknya di Artjog 2018 menjadi pusat perhatian. Namun, tidak banyak orang mengetahui perjuangan Mulyana sebelum dikenal sebagai seniman rajut.

Moel, sapaan akrabnya, merupakan pria asli Bandung kelahiran 1984 yang menetap di Yogyakarta sejak 2014. Ia merupakan lulusan seni rupa dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.

Sempat menempatkan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Moel memilih UPI Bandung sebagai tempat menimba ilmunya. Perguruan tinggi negeri jadi pilihan wajib agar tidak terbebani biaya yang mahal.

Seperti lulusan-lulusan ponpes umumnya, Moel sempat pula berniat mendaftarkan diri ke Hubungan Internasional Universitas Padjajaran (Unpad). Pasalnya, bekal utama yang dimiliki lulusan ponpes biasanya Bahasa Inggris dan Bahasa Arab.

"Tapi nggak keterima, berarti memang sudah jalannya kan ya," kata Moel saat ditemui Republika.co.id di rumah kontrakannya di Yogyakarta, Sabtu (30/6).

Ia mengaku bersyukur telah diterima di UPI Bandung, mengingat tidak banyak lulusan pondok pesantren kala itu yang diterima perguruan tinggi. Terlebih, kampus seni memang yang telah diimpikannya sebagai tempat menimba ilmu setelah 'mondok'.

Ya, Moel memang lulusan pondok pesantren. Tidak tanggung-tanggung, Pondok Pesantren Gontor yang menjadi tempat Moel menimba ilmu. Selama lima tahun, Moel menimba ilmu sembari menyalurkan hobinya.

Moel, jadi satu dari sekian banyak orang yang telah membuktikan pondok pesantren bukan tempat yang kaku. Justru, pondok pesantren merupakan tempatnya menyalurkan hobi-hobi, utamanya di dunia seni.

Seni, secara tidak sengaja telah menjadi semacam sarana penyembuhan tersendiri bagi Moel. Pasalnya, sejak kecil, Moel kerap mendapat ejekan-ejekan karena berbeda dari yang lain. Saat itu belum populer istilah bullying.

Saat SD, Moel kerap dipanggil Nyai Dasima oleh teman-temannya, yang mungkin karena laku tubuhnya yang memang lemah lembut. Hal itu berlanjut sampai SMP, karena Moel kerap diejek dan dipanggil-panggil dengan sebutan tante.

photo
Mulyana, seniman rajut dengan tema Sea Remembers yang menjadi bintang di Artjog 2018. Mulyana berhasil memukau lewat karya-karya rajutan dengan tajuk instalasi bawah laut.

Tidak memiliki teman, seni jadi semacam pelarian tersendri. Ketika SD, Moel senang menari dan banyak mendapat teman dari sana. Pun ketika SMP, Moel yang gemar untuk menggambar banyak mendapat teman sehobi.

"Tapi tahu bisa seni itu waktu SD, sama uwak (kakak perempuan orang tua), sering ikut lomba-lomba gambar tapi nggak pernah menang," ujar Moel, sambil tersenyum mengenang masa-masanya dulu.

Setelah itu, Moel yang senang mengoleksi tazos, kerap mendaftar sendiri lomba-lomba merangkai tazos yang dulu populer di kalangan anak-anak Indonesia. Moel, sering tiba-tiba membawa pulang piala dan uang berkat menang lomba tazos.

Bahkan, Moel kecil sempat mewakili Jawa Barat, mengikuti lomba tazos nasional. Walau sendiri, tanpa ditemani dan tidak lagi mendapat juara, Moel mengaku senang dapat mengikuti lomba-lomba tersebut.

Lulus, Moel dimasukkan ke Pondok Pesantren Gontor. Di sana, ia tidak lagi mendapat ejekan-ejekan, karena memang banyak kewajiban yang telah diberikan kepada anak-anak. Di sana mental Moel ditempa.

Di Gontor, Moel merasa kedisiplinan, pelajaran-pelajaran, sampai hafalan-hafalan diterapkan sangat ketat. Uniknya, di tempat itulah Moel benar-benar bisa menyalurkan kreativitasya.

"Di sana buat vignet-vignet (ilustrasi), dan yang namanya seni rupa, kerajinan, dan seni-seni itu pondok pesantren oke banget," kata Moel.

Maka itu, ia heran kalau ada orang-orang yang menduga pondok pesantren itu tempat yang jauh dari kreativitas dan seni. Sebab, justru di sana Moel mendapat banyak pelajaran-pelajaran seni.

Tiap tahun, Moel bersama teman-temannya malah mampu memamerkan hasil lukisannya, termasuk lukisan wajah-wajah kiainya sendiri. Tiap ada panggung gembira, Moel tidak ketinggalan menyalurkan kreativitasnya.

"Panggung gembira yang buat itu bukan vendor-vendor, kita-kita buat sendiri semuanya, makanya betah di sana, hobi aku terpakai, justru tersalurkan, tiap-tiap acara dipakai," ujar Moel.

Setelah itu, Moel melanjutkan pendidikan ke seni rupa UPI Bandung, dan semakin mengembangkan kecintaannya terhadap seni. Karenanya, jika belakangan nama Moel begitu populer atas karya-karyanya, tentu itu tidak mengagetkan.

Termasuk, saat karya rajutan instalasi bawah laut bertajuk Sea Remembers miliknya, jadi bintang kejora di Artjog 2018. Ke depan, Moel yang sedang mempersiapkan buku dan pameran tunggal berharap, dapat menciptakan karya-karya dengan tema yang lain.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement