REPUBLIKA.CO.ID, KUDUS -- Masih rendahnya minat baca masyarakat di Tanah Air menjadi salah satu penyebab suburnya penyebaran berita hoaks. Hal itu diungkapkan alumnus mentor Google News Initiative Hartatik.
"Karena minat baca mengakibatkan kemampuan berpikir kritisnya juga rendah sehingga saat menerima informasi sulit membedakan mana berita yang benar dan mana berita yang palsu," ujarnya saat menjadi pembicara pada acara sosialisasi Undang-Undang ITE-Pers dan Literasi Media Indonesia Tanpa Hoax di @Hom Hotel Kudus di Kudus, Senin (20/8).
Sosialisasi Undang-Undang ITE-Pers dan Literasi Media Indonesia Tanpa Hoax diselenggaraan PWI Kudus bekerja sama dengan Polres Kudus juga terkait dengan peringatan HUT ke-K3 Kemerdekaan Indonesia dan Bhayangkara ke-72. Sebelumnya, juga digelar lomba membuat poster bertemakan "Indonesia Merdeka Tanpa Hoax" dan lomba menulis untuk polisi.
Dia mengajak masyarakat, khususnya pelajar, untuk meningkatkan budaya membaca agar tidak mudah tertipu dengan berita palsu.
Selain itu, kata dia, dengan minat membaca yang tinggi tentunya akan memperluas wawasan, mempertajam gagasan, serta meningkatkan kreativitas. Ia mengingatkan budaya membaca bangsa Indonesia berdasarkan hasil survei lembaga dunia, masih kalah dengan negara tetangga, seperti Thailand.
Pada kesempatan tersebut, dia membagi tips untuk mengetahui bahwa informasi tersebut asli atau palsu. "Untuk mengecek keaslian sebuah foto juga bisa memanfaatkan teknologi informasi sehingga masyarakat tidak mudah tertipu," ujarnya.
Dia juga mengingatkan masyarakat agar jangan mudah percaya dengan penyebaran berita lewat media sosial yang tidak dalam bentuk sumber aslinya atau dalam bentuk tangkapan layar (screenshot). Apalagi, kata dia, judul dan konten hasil tangkapan layar bisa juga diubah sesuai kepentingan penyebarnya.
Ia mengingatkan masyarakat jangan asal menyebar berita yang belum tentu kebenarannya sebelum benar-benar dilakukan pengecekan kebenaran berita tersebut. "Jangan lupa mengecek situs media mainstream. Apakah informasi tersebut juga ada di media tersebut. Jika ada, bacalah dengan seksama," ujarnya.
Kapolres Kudus AKBP Agusman Gurning yang juga menjadi pembicara pada acara itu, mengingatkan masyarakat agar bijak dalam bermedia sosial, mengingat penduduk Indonesia berdasarkan hasil survei UNESCO sebagai negara yang penduduknya paling cerewet di dunia dan menempati urutan kelima soal kecerewetan di media sosial.
Padahal, lanjut dia, minat baca masyarakat Indonesia justru rendah dibandingkan dengan negara lain, namun dalam kepemilikan gawai justru menempati urutan kelima dunia.
"Untuk itulah, masyarakat harus berhati-hati dalam menyebarkan berita atau informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Siapa saja yang yang kedapatan menyebar hoaks bisa dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 19/2016," ujarnya.
Pembicara ketiga yang juga Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jateng Amir Machmud menyampaikan materi tentang etika media milenial.
Nilai-nilai bermedia, katanya, harus dipegang erat, mulai dari memiliki sifat kenabian, yakni sidik, tablig, amanah, dan fatanah. "Bingkai etis, dari proses memperoleh, memverifikasi, mengolah hingga menyajikan. Serta nilai standar, berupa akuntabilitas, disiplin verifikasi, dan membangun kepercayaan publik," ujarnya.