REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Selalu ada sisi baik dan buruk dari segala hal, termasuk media sosial. Positifnya, media sosial bisa menjadi penghubung antara kawan yang berjauhan dan mengomunikasikan hal-hal baik. Negatifnya, media sosial bisa membuat kecanduan dan berdampak buruk bagi kesehatan mental.
Salah satu contohnya, unggahan media sosial orang lain bisa memicu kecemburuan atau menimbulkan perbandingan. Berbagai perisakan juga berpotensi terjadi di kolom komentar. Tidak sedikit generasi muda yang terpapar insomnia karena tak henti mengecek medsos.
Berdasarkan studi terkini, empat dari 10 orang berusia 15-24 tahun di era modern mengaku tidak bisa hidup tanpa media sosial. Penelitian lanjutan mengungkap bahwa tiga perempat perempuan berusia 30-an mengecek ponsel sekitar 200 kali sehari.
Bulan ini, warga Inggris ditantang untuk mengikuti gerakan "Scroll-Free September". Kampanye yang mengajak publik rehat sejenak dari media sosial selama 30 hari itu digagas oleh organisasi amal independen Royal Society of Public Health.
Media sosial yang dianjurkan tidak diakses berlebihan adalah Instagram, Twitter, Facebook, dan Snapchat. Sementara Whatsapp cenderung tidak bisa ditinggalkan karena media sosial itu lebih sering diakses sebagai layanan perpesanan.
Jika tidak sepenuhnya bisa menjauhi media sosial, pakar detoks digital Tanya Goodin menyarankan untuk membatasinya. Pengguna bisa memilih media sosial mana yang paling sering digunakan dan menghapus aplikasi lainnya yang jarang dipakai.
"Sebelum menghapus aplikasi, keluarlah dari akun dan ubah kata sandi sehingga akan sedikit sulit untuk kembali membukanya dan menghabiskan waktu berjam-jam di sana," ujar penulis buku Stop Staring at Screens itu, dikutip dari laman Independent.