REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Indonesia masih dinilai tidak peduli dengan pengelolaan sampah. Direktur Pengelolaan Sampah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Sampah dan Bahan Berbahaya dan Beracun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia Novrizal Tahar mengatakan, kondisi tersebut telah dibuktikan dengan hasil survei yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada September tahun ini.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Modul Ketahanan Sosial 2017 (Susenas Modul Hansos 2017) mengungkapkan Indeks Perilaku Ketidakpedulian Lingkungan Hidup (IPKLH) terhadap sampah merupakan yang terbesar dengan 35,53 persen. Angka tersebut paling tinggi dibandingkan dengan ketidakpeduliaan terhadap transportasi pribadi sebesar 34,93 persen, penghematan air sebesar 21,68 persen, dan pengelolaan energi 7,86 persen.
"Salah satu penyumbang sampah ini dalam jenis plastik sekali pakai, termasuk sedotan," ujar Novrizal dalam acara "McDonald's Indonesia Inisiasikan Gerakan #Mulaitanpasedotan", Senin (12/11).
Novrizal menjelaskan, setiap hari terdapat 93 juta sedotan digunakan, kemudian dibuang menjadi sampah. Hal ini sangat berpengaruh besar untuk kondisi lingkungan. Karena, plastik akan sulit terurai dan terbawa ke lautan.
Hal yang paling memprihatinkan, ketika sampah plastik ini hancur dan ternyata tidak menghilang. Sampah plastik justru berubah menjadi nanoplastik. Masalah ini sudah menjadi ketakutan dunia, sebab, dikonsumsi oleh ikan, dan ikan dikonsumsi oleh manusia.
"Tahun 1995, sampah plastik hanya berkontribusi sembilan persen saja, sekarang sudah mencapai 16 hingga 17 persen," ujar Novrizal.
Peningkatan ini sangat mengkhawatirkan, dan akan berbahaya ketika tidak ada tindakan pencegahan. Sebab itu, Novrizal mendukung gerakan yang diinisiasi McDonald's Indonesia untuk tidak lagi menyediakan dispenser sedotan plastik di 189 gerai McDonald’s di seluruh Indonesia. Cara ini dapat mengedukasi masyarakat untuk lebih bijak dalam menggunakan plastik sekali pakai.