Selasa 27 Nov 2018 00:00 WIB

Alasan Jepang Bagi-Bagi Rumah Telantar

Jepang memperkirakan ada sekitar 8,2 juta rumah yang ditinggal pemiliknya.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Ani Nursalikah
Rumah di Jepang yang ditinggalkan pemiliknya.
Foto: EPA-EFE/JIJI PRESS
Rumah di Jepang yang ditinggalkan pemiliknya.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Jepang ternyata memiliki banyak rumah yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Pada 2013, Rethink Tokyo melaporkan, Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang memperkirakan ada sekitar 8,2 juta rumah telantar.

Properti yang dikosongkan cenderung berada di pedesaan karena urbanisasi menuju kota. Takhayul Jepang membuat rumah-rumah tua sulit dijual karena bangunan yang terkait dengan bunuh diri, pembunuhan, atau kematian yang disebabkan kesepian.

Kagoshima, Kochi, dan Wakayama adalah daerah kotamadya yang memiliki lebih dari 10 persen rumah kosong. Diperkirakan lebih dari 30 persen dari seluruh rumah di Jepang ditinggalkan pemiliknya pada 2033.

Jepang membuat skema Akiya, yakni memberikan rumah-rumah ini pada keluarga muda secara gratis atau dengan tarif yang sangat murah. Akiya berarti kosong atau ditinggalkan dalam bahasa Jepang.

Dalam beberapa kasus, ada tawaran subsisdi untuk mendorong pemilik merenovasi properti. Namun, ada sejumlah persyaratan yang diperlukan.

Sebagai contoh, beberapa pemerintah daerah mengharuskan semua anggota keluarga berusia di bawah 43 tahun dan memiliki anak-anak yang cukup muda untuk masuk sekolah menengah pertama. Properti dapat ditemukan melalui berbagai ‘Akiya Banks’ yang mencantumkan rumah yang ditinggalkan secara online. Platform ini tampaknya memastikan proses pembelian sederhana dan cepat sehingga menjadikannya pilihan populer untuk pembeli dari Jepang dan orang asing.

Meski begitu, seperti yang dilansir di New Zealand Herald, Senin (26/11), ada sejumlah risiko yang perlu dipertimbangkan ketika mengambil properti ‘Akiya’. Pertama, biaya renovasi, dalam beberapa kasus, dapat memiliki harga yang sama dengan membeli properti di tempat lain.

Kedua, ambiguitas seputar pengabaian properti. Mungkin saja pemilik asli properti tersebut muncul suatu hari dan menuntut kepemilikan.

Selanjutnya, menurut beberapa orang, membeli rumah ‘Akiya’ dianggap sebagai kegagalan sosial yang mutlak. Tetapi dengan harga rumah di Tokyo yang merayap naik (sekitar 790 ribu dolar AS atau Rp 11,4 miliar), hal ini menjadi pilihan yang layak dipertimbangkan bagi banyak keluarga muda.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement