REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemburu Utang menjadi lakon penutup Pentas Program Indonesia Kita 2019. Sebelumnya, Bakti Budaya Djarum Foundation lebih dulu mementaskan Kanjeng Sepuh, Celeng Oleng, dan Toean Besar.
Pertunjukkan yang ditampilkan dengan jenaka ini, menurut Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation Renitasari Adrian, diharapkan dapat menunjukkan dan menyadarkan penikmat seni pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dan keberagaman dalam kehidupan sosial. Pertunjukkan ke-34 ini dilaksanakan selama dua hari, Jumat dan Sabtu (1-2/11) di Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Diisi oleh 14 pemeran dari berbagai latar belakang, Pemburu Utang menceritakan sebuah negara dengan hutang yang banyak memaksa warganya untuk turut serta membayar hutang tersebut. Setiap warga berusaha terlihat miskin karena dengan begitu aset dan harta mereka tidak diambil.
Ujungnya terungkap bahwa harta dan aset yang diambil ternyata bukan untuk membayar hutang negara, melainkan memperkaya segelintir orang saja. Menurut Sastrawan Heru Joni Putra, pentas pemburu utang ini merupakan gambaran satire bagi keserakahan dan korupsi.
Heru mengatakan, saat suatu negara bangkrut karena korupsi sekalipun praktik tersebut belum tentu dapat berhenti. Keserakahan dan korupsi tersebut akan hadir dengan berbagai wajah baru.
Meskipun tampak serius, semua disampaikan Pemburu Utang sangat jenaka melalui humor-humor ringan yang ditampilkan pemerannya. Mereka juga menyelipkan candaan terkait isu yang tengah hangat diperbincangkan saat ini, sebut saja soal kisruh anggaran pendidikan DKI Jakarta serta pembelian lem dan pembagiannya sejumlah dua buah ke setiap siswa.
Salah satu penggagas program Indonesia Kita, Butet Kartaradjasa, mengatakan bahwa humor yang dibawa dalam pentas adalah hot news dan hasil improvisasi para pemain.
"Improvisasi yang dilatihkan, kebetulan ada waktu H-3 dan dapat banyak berkah dari Maha Kuasa,” tujarnya.
Humor yang disampaikan berhasil membuat penonton dalam Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki tertawa. Perdebatan antara Cak Lontong dan Akbar cukup menyita perhatian, karena keduanya menggambarkan sosok kaya dan miskin, lalu bertukar posisi hingga akhirnya mengetahui bahwa si kaya menjadi miskin bukan karena empati atau kondisi, tapi sebagai cara untuk menambah kekayaannya lagi.