Selasa 21 Jan 2020 18:16 WIB

Indonesia Masih Tertinggal dalam Tren Halal Lifestyle

Halal lifestyle kini mulai menjadi tren global, namun Indonesia masih ketinggalan.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Reiny Dwinanda
Label halal. Selagi halal lifestyle menjadi tren dunia, Indonesia masih ketinggalan.
Foto: Tahta Aidila/Republika
Label halal. Selagi halal lifestyle menjadi tren dunia, Indonesia masih ketinggalan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Halal lifestyle kini mulai menjadi tren global yang menjanjikan dan dilirik oleh berbagai negara. Namun sebagai negara dengan penududuk Muslim terbanyak, sepak terjang Indonesia justru dinilai cukup tertinggal dalam bidang ini.

"Di Indonesia rasanya masih tertinggal," ungkap Direktur Indonesia Halal Watch Ikhsan Abdullah dalam konferensi pers Shihlin Taiwan Street Snacks, di Jakarta, belum lama ini.

Baca Juga

Ikhsan mencontohkan, mal-mal besar di Jakarta hadir dengan beragam gerai makanan. Namun, hanya sebagian dari restoran tersebut yang sudah memiliki sertifikat halal Majelis Ulama Indonesia (MUI).

"Karena kita di Indonesia, mungkin dianggapnya semua makanan itu halal," jelas Ikhsan.

Padahal, Ikhsan mengatakan menjamin dan menjaga kehalalan suatu produk membutuhkan usaha yang tidak mudah. Pengusaha perlu memiliki sistem jaminan halal yang baik agar kehalalan produk mereka bisa terjaga secara konsisten.

Ikhsan mencontohkan, pada dasarnya hampir semua makanan di muka bumi ini halal. Hanya beberapa jenis makanan saja yang tergolong tidak halal. Akan tetapi, bila makanan halal ini terpapar dengan sesuatu yang tidak halal, maka makanan halal tersebut akan menjadi tidak halal.

"Yang pertama, komitmen sehingga (suatu produk) ada jaminan halal," tutur Ikhsan.

Senada dengan Ikhsan, Direktur LPPOM Majelis Ulama Indonesia Lukmanul Hakim mengatakan, untuk mendeklarasikan kehalalan suatu produk tidak bisa hanya berdasarkan dugaan atau perkiraan. Sebelum dinyatakan halal, harus diketahui secara jelas apakah suatu produk terpapar sesuatu yang tidak halal atau belum jelas kehalalannya.

"Karena halal nggak bisa hanya 95 persen halal, 99 persen halal pun nggak boleh. Harus halal 100 persen," ungkap Lukmanul.

Artinya, sebelum menyatakan suatu produk sebagai produk halal perlu diketahui dengan jelas bahan-bahan apa saja yang digunakan hingga seperti apa proses produksinya. Selain itu, kehalalan suatu produk harus terjaga secara konsisten pada setiap proses produksinya.

"Tidak boleh halal hanya dugaan, seperti 'Insya Allah halal kok, karena saya Pak Haji'. Harus jelas benar nggak, pasti halal atau tidak," jelas Lukmanul.

Sertifikat halal MUI dapat menjadi jaminan kehalalan suatu produk. Alasannya, sertifkat halal MUI baru bisa didapatkan setelah perusahaan melalui proses pemeriksaan dan pengawasan yang menyeluruh.

Selain itu, perusahaan juga diharuskan memiliki sistem jaminan halal yang mampu menjaga konsistensi kehalalan produk mereka. Sebagai contoh, proses yang dijalani Shihlin Taiwan Street Snacks hingga berhasil mendapatkan sertifikat halal cukup panjang.

Tim auditor dari LPPOM MUI tak hanya melakukan pengawasan dan penilaian dari segi bahan baku, bahan tambahan hingga proses produksi saja. Tim auditor juga turun langsung ke seluruh gerai Shihlin Taiwan Street Snacks yang berjumlah 135 gerai dan tersebar di berbagai pulau.

"Bagaimana cara menjaga konsistensinya agar tetap pada standar atau kriteria produksi halal, wajib implementasikan sistem jaminan halal yang dapat menjaga konsistensi kehalalan," ujar Lukmanul.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement