REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Sudah tiga hari berlangsung, program Korea Muslim Educational Trip (Komet) selalu dimulai sangat dini. Ya, kegiatan Komet yang digelar Indonesian Islamic Travel Communication Forum (IITCF) memang dimulai saat fajar mereka, karena diawali dengan shalat Subuh berjamaah. Shalat fajar tersebut tertera eksplisit dalam rencana perjalanan (itinerary) Komet yang berlangsung 21-26 Agustus 2017.
Wartawan Republika Harun Husein yang juga ikut dalam rombongan Komet tersebut, melaporkan dari Seoul, pada Kamis (22/8) hari ini, shalat subuh berjamaah diikuti sepertiga dari total 30-an peserta Komet. Shalat Subuh berjamaah ini dilaksanakan di restoran The Designer Hotel LYJ -- tempat para peserta Komet menginap, yaitu Joie de Vivre Cafe & Restaurat. Restoran yang dipersilakan dipakai untuk shalat berjamaah itu, terletak di basement lantai satu hotel yang yang berlokasi di kawasan Gangnam, Seoul, Korea Selatan.
Shalat Subuh berjamaah tadi pagi diimami oleh salah seorang peserta Komet, yaitu Dadang Khoerudin, dari perusahaan travel PT Mihrab Qalbi. Dalam kuliah tujuh menit (kultum) usai shalat subuh, Sang Ustadz menyampaikan keutamaan memulai aktivitas di pagi hari. “Dalam hadits riwayat Bukhari-Muslim, setiap hari Rasulullah berdoa ’Allahumma baarik li ummati fii bukuriha’. Ya Allah berkahilah ummatku pada pagi hari mereka. Doa Nabi yang makbul tersebut berlaku sepanjang zaman atas umatnya,” paparnya.
Kendati tak seluruh peserta Komet mengikuti shalat Subuh berjamaah, Chairman IITCF, Priyadi Abadi, mengaku bersyukur. “Karena yang mengikuti shalat Subuh berjamaah ini lebih banyak dibanding sehari sebelumnya. Kita pelan-pelan saja,” katanya.
Shalat Subuh berjamaah, kata Priyadi, akan selalu masuk dalam itinerary Muslim Educational Trip (Muslim Edutrip), termasuk Komet, karena kegiatan ini akan dibentuk menjadi ciri khas wisata Muslim yang hendak dibangun IITCF. “Ini adalah nafas dan ciri khas wisata Muslim, yang akan membedakannya dengan wisata umum. Ini yang kita harapkan nanti diterapkan teman-teman pemilik travel, tour leader, dan tour planner, yang menjadi peserta Komet, dalam mengemas wisata Muslim,” kata Priyadi.
Shalat Subuh berjamaah, ungkap Priyadi, tak hanya diterapkan dalam kegiatan Komet, tapi juga telah diterapkan dalam Muslim Educational Trip sebelumnya. “Kita sudah tujuh kali menggelar Muslim Educational Trip. Sebelum Korea, kita sudah melaksanakan di sejumlah negara Eropa, Turki, Thailand, dan Taiwan, dan shalat Subuh berjamaah selalu masuk dalam itinerary kita. Ini diferensiasi kita,” katanya.
Menurut Priyadi, dalam kegiatan di berbagai negara non-Muslim, rata-rata hotel tempat menginap tidak punya mushala. Tapi, IITCF meminta ruang untuk shalat Subuh berjamaah. Kepada hotel-hotel yang bersedia memberi kesempatan atau ruang shalat kepada peserta Muslim Educational Trip, selanjutnya diserahkan perangkat shalat. Sehingga, jika suatu saat ada grup Muslim traveler, dari mana pun asalnya, perangkat tersebut bisa digunakan. “Soal arah kiblat sekarang kan tidak sulit lagi, karena bisa pakai aplikasi gadget,” katanya.
Tapi, terhadap hotel-hotel yang benar-benar tidak bersedia memberi kesempatan dan ruang shalat bagi Muslim traveller, Priyadi mengatkan tak perlu dipaksa juga. “Tapi, kita tidak usah menginap di sana. Kita bisa cari hotel lain yang bersedia menyediakan itu. Kewajiban kita sebagai pelaku travel Muslim untuk menyosialisasikan kebutuhan Muslim traveller,” ujarnya.
Sebenarnya, kata Priyadi, umat Islam itu tidak susah untuk shalat. Selama kegiatan Muslim Educational Trip, kami juga kadang disediakan tempat shalat di ruang khusus, restoran, selasar hotel. Atau, kalau betul-betul tidak ada ruang, kita shalat di kamar salah satu peserta Muslim Educational Trip,” katanya.