REPUBLIKA.CO.ID, AMBON -- Sebanyak 13 dari 459 narapidana (napi) di Maluku langsung bebas setelah mendapat remisi, Ahad (17/8) bertepatan dengan perayaan HUT ke-69 Kemerdekaan RI.
Sedangkan napi yang mendapat remisi sebagian, sebanyak 446 orang. Pemberian remisi diserahkan secara simbolik kepada dua napi oleh Gubernur Maluku, Said Assagaf di aula Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Ambon.
Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Amir Syamsudin dalam sambutan yang dibacakan Gubernur Maluku mengatakan, remisi merupakan instrumen yang dapat mendorong narapidana untuk berperilaku baik selama menjalani pidana. Karena remisi hanya akan diberikan kepada narapidana yang berkelakuan baik. Mereka yang melakukan pelanggaran peraturan tata tertib tidak akan mendapatkan remisi.Manfaat lanjutan dari pemberian remisi adalah dapat mengurangi tingkat hunian lapas dan rutan yang semakin tinggi.
Dia mengatakan, remisi akan mempercepat seseorang narapidana untuk keluar dari lapas dan rutan sehingga jumlahnya akan cepat berkurang. Pemberian remisi, kata dia, bukanlah bentuk kemudahan bagi warga binaan untuk dapat cepat bebas, tetapi merupakan sarana untuk meningkatkan kualitas diri sekaligus memotivasi diri, sehingga dapat mendorong wraga binaan kembali memilih jalan kebenaran.
Melalui remisi juga dapat mempercepat proses kembalinya narapidana dalam kehidupan masyarakat agar mereka mempunyai kesempatan untuk menginternalisasikan nilai-nilai masyarakat secara tepat. Kementerian Hukum dan HAM terus berupaya melakukan perbaikan dan peningkatan pelayanan kepada publik sebagai tanggung jawab lembaga eksekutif dalam melaksanakan kinerja yang akuntabel dan transparan.
Belum lama ini telah ditandatangani beberapa kesepakatan yang digagas oleh Forum Mahkumjakpol, yaitu Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian. Selain itu juga menggandeng dua lembaga negara, yaitu Kementerian Kesehatan dan Badan Narkotika Nasional (BNN) yang merupakan terusan dari beberapa pertemuan sejak tahun yang lalu.
Pertemuan ini dilatarbelakangi bahwa lapas dan rutan yang ada di seluruh Indonesia saat ini sudah sangat penuh dan 60 persen penghuninya adalah pemakai dan pengedar narkoba. Kemudian pembangunan lapas atau rutan yang direncanakan tidak sebanding dengan terus meningkatnya penghuni lapas dan rutan. Karena itu, permasalahan ini harus dicegah dengan mengubah paradigma bahwa sudah saatnya pendekatan hukum perlu diimbangi dengan pendekatan rehabilitasi. "Kita berharap dengan adanya MoU ini minimal ke depan over kapasitas lapas atau rutan yang ada dapat dikurangi dan penanggulangan pemakai narkoba semakin terkendali," katanya.
Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi republika.co.id.
Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar,
berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras,
dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.
Republika.co.id berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.