REPUBLIKA.CO.ID, Dalam buku berjudul 'Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia' karya Cindy Adams, diceritakan bahwa dalam suatu pertemuan di kediaman Soekarno, 15 Agustus 1945 malam, Soekarno bertemu dengan sejumlah pemuda dan terlibat pembicaraan serius dengan mereka.
Saat itu, sekitar pukul 22.00 WIB, Soekarno mengaku sedang sibuk merencanakan perincian strategi untuk proklamasi dengan dua orang rekannya, Sajuti Melik dan istrnya Trimurti, yang menjadi sekretaris Soekarno.
Beberapa pemuda seperti Khairul Saleh, Wikana dan Sukarni terlibat pembicaraan tegang dan serius dengan Soekarno pada 15 Agustus 1945 malam itu. Dalam salah satu bagian dialog itu, Soekarno menyatakan hal paling penting di dalam perperangan atau revolusi adalah saatnya yang tepat. Sewaktu berada di Kota Saigon, Vietnam, tepatnya saat menemui Jenderal Terauchi, Soekarno mengaku sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17 Agustus.
Lalu Sukarni pun bertanya: “Mengapa justru diambil tanggal 17 Agustus? Mengapa tidak sekarang saja atau tanggal 16 Agustus?”
Dengan suara rendah dan tenang, Soekarno menjawab pertanyaan Sukarni: “Saya seorang yang percaya pada mistik. Saya tidak dapat menerangkan secara pertimbangan akal mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Namun, saya merasakan di dalam kalbuku bahwa waktu dua hari lagi adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka keramat, 17 adalah angka suci,” papar Sukarno kepada Sukarni.
“Pertama-tama, kita sedang berada dalam bulan Ramadhan, waktu kita semua berpuasa. Bukankah begitu?” ujar Sukarno. Sukarni pun menjawab: “Ya”.
Sukarno pun kembali bertanya: “Ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Bukan begitu?” “Ya,” jawab Sukarni.
“Hari Jum’at ini Jum’at Legi. Jum’at yang berbahagia. Jum’at suci. Dan hari Jum’at adalah tanggal 17. Al-Qur’an diturunkan tanggal 17. Orang Islam sembahyang 17 raka’at dalam sehari. Mengapa Nabi Muhammad memerintahkan 17 raka’at, mengapa tidak 10 atau 20 saja? Ini karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia,” papar Sukarno kepada Sukarni.
Sukarno pun melanjutkan pernyataannya kepada Cindy Adams, penulis buku ini. “Pada waktu saya mendengar berita penyerahan Jepang, saya berpikir bahwa kita harus segera memproklamirkan kemerdekaan. Kemudian saya menyadari, adalah Kemauan Tuhan peristiwa ini akan jatuh di hari-Nya yang keramat. Proklamasi akan diumumkan tanggal 17. Revolusi menyusul setelah itu,” ungkap Sukarno.
Isi Komentar Anda
Komentar adalah tanggapan pribadi, tidak mewakili kebijakan redaksi republika.co.id.
Redaksi berhak mengubah atau menghapus kata-kata yang tidak etis, kasar,
berbau fitnah dan pelecehan, intimidasi, bertendensi suku, agama, ras,
dan antar golongan. Setiap komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab pengirim.
Republika.co.id berhak untuk memberi peringatan dan atau menutup akses bagi pembaca yang melanggar ketentuan ini.