REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Garuda Indonesia (Persero) mengumumkan kinerja perusahaan sepanjang 2017. Maskapai penerbangan nasional itu mengalami rugi bersih 67,6 juta dolar AS.
Namun, perhitungan catatan kerugian tersebut belum termasuk biaya luar biasa yang terdiri dari pembayaran amnesti pajak dan denda kasus persaingan kargo dengan Australia yang totalnya mencapai 145,8 juta dolar AS. Dengan demikian, apabila ditambah dengan perhitungan biaya itu, maka total kerugian yang dialami Garuda pada tahun kinerja 2017 menjadi 213,4 juta dolar AS.
Direktur Utama Garuda Indonesia Pahala N. Mansury mengatakan, salah satu penyebab kerugian yang diderita perusahannya karena kenaikan harga bahan bakar. Hal ini berdampak pada naiknya biaya operasional.
Di sisi lain, capaian pendapatan operasional Garuda sepanjang 2017 mencapai 4,2 miliar dolar AS. Angka itu mengalami peningkatan 8,1 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, yang hanya 3,9 miliar dolar AS.
Sepanjang 2017, Garuda Indonesia Grup berhasil mengangkut penumpang sebanyak 36,2 juta penumpang. Terdiri dari 24 juta penumpang Garuda Indonesia dan 12,3 juta penumpang Citilink.
"Capaian ini cukup baik di tengah adanya erupsi Gunung Agung beberapa waktu lalu yang berpengaruh pada penurunan jumlah penumpang," kata dia, dalam konferensi pers di kantor pusat Garuda Indonesia, Jakarta, Senin (26/2).
Di tahun 2018, Pahala menyebut, pihaknya akan melakukan restrukturasi pada sejumlah rute yang kurang menghasilkan. Salah satunya, yang ia sebut yakni rute Chengdu - Denpasar.
Namun begitu, kata Pahala, restrukturasi ini belum tentu berakhir dengan penutupan rute. Garuda Indonesia, kata dia, akan mencari model bisnis lain yang lebih menguntungkan. Misalnya, rute tersebut tetap dioperasikan namun dalam bentuk carter.
"Ini belum kita putuskan. Kita akan lihat perkembangannya dalam 2-3 bulan ke depan."