Selasa 20 May 2014 11:16 WIB

Menyongsong Pemilu 2019: Mari Kita 'Kepo'

Warga meneliti daftar caleg pada Pemilu 2014
Foto: AP Photo/Firdia Lisnawati
Warga meneliti daftar caleg pada Pemilu 2014

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Wahyu Andhika Gayatri*

Kepo, berasal dari kata kaypoh yang merupakan dialek Hokkien dari bahasa Mandarin jipo. Jipo berarti orang suka usil mencampuri urusan orang lain. Di Indonesia, istilah kepo seringkali diartikan sebagai ingin tahu urusan orang lain, atau suka mencari tahu. Dalam kesempatan kali ini, penulis membahas hubungan antara kepo dengan pemilu mendatang.

Putusan Mahkamah Konstitusi

Saat ini, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan pemilu legislatif dan pemilu presiden akan dilaksanakan serentak pada 2019. Banyak prokontra yang bermunculan dengan keputusan ini. Ada pihak yang mempertanyakan mengapa sistem ini baru ditetapkan pada tahun 2019 dan menginginkan sistem ini seharusnya segera diberlakukan dalam pemilu 2014. 

Sementara, yang setuju menyatakan bahwa pelaksanaan pemilu serentak pada 2019 akan meminimalisasi risiko kekacauan politik yang disebabkan belum siapnya undang-undang yang mengatur tentang tata cara pemilu serentak.

Tidak seperti pemilu sebelumnya dimana partai politik pada umumnya menunggu hasil pemilu legislatif untuk kemudian membuat “koalisi-koalisi pragmatis” dengan partai lain demi dapat mengusung kadernya sebagai calon presiden,  pemilu serentak memungkinkan partai politik berhak mengusung calon presidennya masing-masing. Sebagai contoh, bila ada dua belas partai politik yang lolos verifikasi KPU, mungkin saja akan ada dua belas calon presiden pada pemilu 2019. Banyak sekali bukan? 

Kita dan Pemilu

Lalu bagaimana kesiapan kita sebagai warga negara yang akan turut memilih pada pemilu tahun 2019 tersebut? Berkaca pada diri sendiri, saya masih mempertanyakan kapasitas saya sebagai seorang pemilih. Pada pemilu legislatif 2014 yang akan berlangsung bulan lalu saja saya masih belum begitu mengenal para kandidat, hasilnya hanya memilih berdasarkan hasil riset semalam suntuk. 

Urgensi untuk turut menyumbangkan suara dalam pemilu pun masih kurang terasa, seperti yang saya dapati pada beberapa saudara dan teman yang enggan ikut mencontreng dalam pemilu dengan alasan sudah capek dengan tingkah para legislatif yang selama ini dianggap tidak becus mengurus negara. Ditambah lagi dengan pelaksanaan pemilu kemarin yang masih karut marut karena ketidakpastian sistem. Salah satunya dalam hal hak pilih warga negara yang domisilinya berbeda dengan yang tertera di KTP. 

Belajar dari penyelenggaraan pemilu lalu, hal ini bisa terjadi karena dua hal. Pertama kurangnya sosialisasi dan diseminasi informasi, dan karena saya yang kurang giat mencari informasi tentang pemilu mendatang. Saya adalah seorang mahasiswa yang sangat dekat dengan sumber informasi, dapat kapan saja dan dimana saja mendapatkan info yang saya perlukan terkait pemilu ini. 

Namun, bagaimana dengan saudara-saudara kita yang masih kesusahan mencari informasi? Akankah mereka dapat mengenal lebih dekat siapa saja yang akan menjadi pemimpinnya? Untuk kasus beberapa teman dan saudara saya yang akhirnya tidak memilih, menurut saya hal ini sangat bisa dihindari bila mereka lebih mengenal calon-calon legislatif ataupun calon presiden mendatang. 

Bahwa tidak semuanya tidak becus memimpin. Bahwa masih ada calon-calon yang kompeten dan amanah, namun kurang didukung sehingga tidak menang, dan tidak dapat ikut mengurus negara ini.

Kepo itu Perlu

Diprediksikan akan banyak calon presiden yang muncul dalam bursa presiden 2019. Oleh karena itu, kenali para calon pemimpin kita. Fenomena yang terjadi saat ini adalah, kita seolah silau dengan sosok seorang tokoh, terutama yang didukung publisitas tinggi dari media. 

Padahal yang terkenal belum tentu baik, pun yang tidak terkenal juga belum tentu baik. Kita tidak mau kan, pemimpin yang terpilih nantinya lagi-lagi adalah pemimpin produk pencitraan yang hanya bagus di kulitnya saja? Maka dari itu, penting kita mengenal sekian banyak calon. Kita perlu kepo kepada para calon pemimpin. “Kepo” yang saya maksud dalam tulisan ini adalah mencari tahu segala hal tentang calon presiden atau calon legislatif dengan segala cara yang tersedia di sekitar kita. Ada koneksi internet? 

Tanyakan ke Mbah Google. Ada koran? Baca baik-baik publikasinya dan kritisi beritanya. Ada diskusi publik? Sebisa mungkin pastikan datang dan menjadi peserta di baris terdepan.

Dengan kepo, kita bisa tahu siapa saja calon pemimpin kita, partai pengusung, dan apakah bersih atau tidak partainya.Dengan kepo, kita bisa tahu rekam jejak calon itu dan menimbang sudah sejauh apa kontribusinya selama ini bagi masyarakat.

Dengan kepo kita bisa menentukan pilihan dan menentukan masa depan negeri ini. Lebih “berat” lagi pekerjaan rumah rakyat Indonesia sebagai pemilih untuk mengenal lebih dekat calon pemimpinnya.

Dan masih sejalan dengan semangat kepo pemilu ini, kita juga perlu mendukung gerakan-gerakan yang mempromosikan gerakan melek politik, seperti yang dilakukan oleh Center for Election and Political Party (CEPP) Universitas Indonesia dengan Rock The Vote Indonesianya.

Nah, apakah saya, kita, dan masyarakat Indonesia pada umumnya sudah siap? Kita tunggu saja. Masih ada Pemilu Presiden 2014 Juli mendatang dan lima tahun proses menuju pemilu 2019. 

Beberapa pasang nama calon Presiden dan Wakil Presiden RI telah muncul, dan sudah selayaknya kita menyiapkan seluruh “Peralatan tempur” untuk mencari tahu segala hal tentang para kandidat. Tidak masalah “Mencari tahu urusan orang lain”, dalam artian urusan para kandidat dan latar belakang partai politik dalam pemilu, toh itu urusan kita juga. Buktikan bahwa kita adalah pemilih berkualitas, yang tidak asal memilih, dan hanya akan memilih kandidat-kandidat terbaik untuk negeri ini. 

* Penulis adalah mahasiswi tingkat akhir Program Studi Cina Universitas Indonesia, Penerima Manfaat Beasiswa Aktivis Nusantara Dompet Dhuafa Angkatan 3 dan dapat disapa melalui akun Twitter @ayagayatri.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement