Ahad 07 May 2017 17:53 WIB

Unsur Politik Dinilai Terlalu Kuat di Hak Angket KPK oleh DPR

Rep: Dian Erika N/ Red: Nur Aini
Sejumlah anggota DPR yang menolak hak angket KPK melakukan 'walk out' saat Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (28/4).
Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Sejumlah anggota DPR yang menolak hak angket KPK melakukan 'walk out' saat Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (28/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, mengatakan unsur politik sangat kental mewarnai wacana hak angket KPK yang diusung oleh DPR. Dia menilai, bergulirnya wacana hak angket hingga saat ini masih merujuk kepada alasan meminta KPK menyerahkan berita acara pemeriksaan (BAP) dan membuka rekaman pemeriksaan terhadap tersangka kasus KTP-el, Miryam Haryani.

"Memang jelas kental ada unsur politik dalam hal ini. Sebab, jika alasannya adalah memperkuat KPK, maka bisa dilakukan dengan forum lain, misalnya rapat dengar pendapat (RDP). Sementara jika yang dipersoalkan adalah penegakan hukum, bisa menempuh jalur hukum," ungkap Bivitri usai diskusi bertajuk 'Hak Angket DPR dan Komitmen Pemberantasan Korupsi' di Kuningan, Jakarta Selatan, Ahad (7/5).

Dia menuturkan, berdasarkan informasi yang beredar, ada empat alasan yang melatarbelakangi wacana hak angket. Secara garis besar, keempatnya yakni adanya konflik internal di internal KPK, kebocoran sprindik, laporan keuangan oleh BPK terkait dugaan penyimpangan di KPK, dan soal permintaan menyerahkan BAP serta membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam Haryani.

Bivitri menjelaskan, mayoritas alasan itu sebelumnya dapat diselesaikan lewat forum seperti rapat dengar pendapat atau RDP maupun konsultasi. "Contohnya laporan BPK sudah dilaporkan oleh KPK. Kebocoran sprindik memang harus diselidiki tetapi juga bisa dibahas dalam RDP. Pertanyaannya, jika alasan-alasan itu yang disampaikan kenapa harus menggunakan hak angket ?" kata Bivitri.

Dia mengingatkan hak angket bersifat spesial. Selain memiliki pesan politis yang keras, hak ini juga memiliki sifat memaksa. Bivitri berpendapat, hak angket cenderung tidak sesuai dengan semangat penguatan lembaga KPK. Dia pun memandang adanya upaya pemaksaan dari DPR untuk menyerahkan rekaman pemeriksaan Miryam Heryani. "Opini yang berkembang di kalangan masyarakat akhirnya mengerucut pada alasan keempat. Sebab KPK memang tidak mau menyerahkan rekaman itu pada saat pemeriksaan kemarin," ujarnya.

Sebelumnya, Komisi III DPR RI berencana menggulirkan hak angket penyelidikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berkaitan penyebutan nama-nama anggota Komisi III DPR RI oleh penyidik KPK dalam persidangan kasus dugaan korupsi proyek KTP elektronik. Hal ini setelah Komisi III DPR RI tak puas mendapat jawaban dari KPK berkaitan kesaksian palsu Miryam S Haryani.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement