REPUBLIKA.CO.ID, Para elite politik saat ini dinilai tengah menerapkan zona injury time menuju Pilpres 2019. Taktik ini dimainkan untuk saling mengunci partai politik anggota masing-masing koalisi sehingga tidak ada ruang komunikasi serta lobi tingkat tinggi elite sentral partai.
Capres pejawat Joko Widodo (Jokowi) hingga kini belum mengumumkan siapa cawapresnya. PDIP sebagai pengusung utama Jokowi sebagai capres menegaskan tidak ada aturan bagi pejawat harus mengumumkan bakal cawapresnya lebih dulu. Sekjen Nasdem Johnny G Plate pekan lalu hanya memberi kode, cawapres Jokowi akan bikin gempar Indonesia.
Adapun, Prabowo Subianto yang adalah penantang Jokowi pada Pilpres 2014, hingga kini malah belum diumumkan secara resmi sebagai capres. Sama seperti Jokowi, Prabowo pun belum memastikan siapa bakal cawapresnya, meski PKS telah memberi sinyal ancaman hengkang dari koalisi jika kadernya tak dipilih Prabowo.
Baca juga: Sinyal Ancaman PKS: Cawapres atau Tinggalkan Koalisi Prabowo
Pada saat paket capres-cawapres nanti diumumkan pada detik terakhir penutupan pendaftaran di KPU, otomatis parpol yang tergabung dalam koalisi harus menerimanya. Kondisi politik Indonesia saat ini seperti sepak bola, di mana timing sangat menentukan.
Bermain pada injury time dengan menunggu bola umpan lambung pada menit terakhir bisa mengubah peta konstelasi, begitu pun pada pilpres. "Kita tunggu kejutan tersebut!" ucap pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago, Selasa (17/7).
Kejutan pertama sepertinya akan datang dari pertemuan antara Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, pada Rabu (18/7). Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan pun sudah menjanjikan kejutan politik tersebut.
"Tanggal 18 kami siapkan pertemuan antara SBY dan Prabowo. Akan penuh kejutan," ujar Hinca, Senin (16/7).
Namun, Hinca enggan menjelaskan lebih lanjut terkait kejutan yang dimaksud tersebut, apakah kemungkinan Partai Demokrat akhirnya bergabung mendukung koalisi poros Prabowo Subianto. Hinca hanya mengiyakan pembahasan pertemuan tersebut berkaitan arah koalisi Pilpres 2019.
"Tunggu saja nanti dua hari lagi," ujar Hinca.
Demokrat sepertinya memang akan bergabung dengan koalisi poros Prabowo. Itu setelah peluang membentuk koalisi poros ketiga di Pilpres 2019 semakin menipis menyusul resmi bergabungnya PKB ke koalisi pendukung capres pejawat, Joko Widodo (Jokowi).
Baca juga:
Dengan aturan presidential threshold (PT) sebesar 20-25 persen dalam UU Pemilu, tidak ada parpol yang kini bisa mengusung sendiri pasangan capres dan cawapresnya. Skenario poros ketiga Pilpres 2019 sebelumnya terbuka lebar jika Demokrat yang meraih 10,19 persen suara pada Pemilu 2014 membangun koalisi dengan PKB (9,04 persen.
Meski begitu, Hinca menyebut sikap Demokrat saat ini masih terbuka tiga opsi saat ditanyai kecenderungan dukungan Partai Demokrat antara dua koalisi Jokowi dan Prabowo. "Posisi demokrat tetap tiga, bisa ke Jokowi bisa ke Prabowo, bisa tidak Jokowi tidak Prabowo," kata Hinca.
Hinca juga menyebut, partainya tetap menginginkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai calon wakil presiden (cawapres) meskipun itu bukan harga mati bagi Partai Demokrat. "Mana ada harga mati, segala sesuatunya kan semua kader, semua partai menjual kadernya, realitas politik akan menjadi ujungnya kapan realisasi politik, paling lambat 10 Agustus," ungkap anggota Komisi III DPR itu.
Menurut Pangi, langkah Demokrat membentuk poros ketiga memang sulit meski bukannya tidak mungkin. Demokrat kini harus mampu menangkap bola pantulan koalisi yang belum memutuskan bergabung ke koalisi Jokowi maupun Prabowo Subianto.
"Partai Demokrat harus terus berupaya melakukan konsolidasi, silaturahim dan penjajakan awal ke beberapa parpol koalisi lainnya," ucap Pangi.
Ada dua skenario yang memudahkan poros ketiga terbentuk. Yakni apabila nanti PKB dan PAN tidak bergabung ke kutub Jokowi maupun Prabowo. Skenario kedua, jika soliditas di dalam kutub Jokowi dan Prabowo tidak terjaga.
Dari sejumlah partai di koalisi Jokowi, Pangi melihat Golkar memiliki potensial banting setir pada menit-menit akhir. Sebab, sebagian suara akar rumput dan elite masih gigih memperjuangkan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartato sebagai cawapres. Sedangkan, sampai saat ini, Jokowi masih belum memberikan penjelasan siapa cawapresnya.
Berharap pada MK
Namun, semua skenario di atas bisa saja berantakan. Penyebabnya adalah jika Mahkamah Konstitusi (MK) menerima uji materi atas ambang batas pencalonan presiden pada UU Pemilu sebelum 10 Agustus 2018.
Poros koalisi yang ada saat ini bisa bubar jalan dan parpol menentukan nasibnya masing-masing di Pilpres 2019. Tanpa presidential threshold, parpol bisa mengusung paket capres-cawapresnya secara mandiri tanpa harus disibukkan oleh lobi politik demi pembentukan koalisi.
Sebanyak 12 orang yang terdiri dari pegiat pemilu, mantan ketua KPK, dan akademisi mengajukan permohonan uji materi ke MK tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden di Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Ke-12 orang yang mendaftarkan gugatanya ke MK pada bulan lalu itu adalah Rocky Gerung, Busyro Muqoddas, Hadar Navis Gumay, Bambang Widjojanto, Dahnil Azhar Simanjuntak, dan Titi Anggraini dengan kuasa hukum Denny Indrayana.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Roy Suryo mengakui, pihaknya masih menunggu hasil uji materi Pasal 222 UU Pemilu terkait ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen. Roy berharap MK mengabulkan gugatan uji materi tersebut.
"Sejujurnya saya berharap MK mengabulkan gugatan itu. Saya yakin kalau MK mengabulkan gugatan, maka peta politik Pilpres 2019 akan berubah. Bahkan poros yang sudah jadi bisa berubah konstelasinya," ujar Roy.
Pada sidang pendahuluan yang digelar pada Selasa (3/7), MK memberikan kesempatan kepada para pemohon untuk memperbaiki permohonan, mulai dari alasan pengajuan uji materi hingga kedudukan hukum. Salah satu pemohon, Hadar Nafis Gumay mengatakan, MK telah memberikan sejumlah arahan perbaikan atau masukan dan pemohon diberi waktu untuk memperbaiki permohonan selama dua pekan, yaitu paling lambat pukul 10.00 WIB pada 16 Juli mendatang.
"Kami menyadari waktu ini sangat mepet dengan perhitungan yang kami harapkan ada putusan sebelum pendaftaran capres nanti. Rencana kami, perbaikan akan dilakukan 1-2 hari ini," kata Hadar, saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (4/7).