Kamis 31 Mar 2016 05:00 WIB

RUU Pilkada Jangan Sampai Diskriminatif Terhadap Calon Independen

Pilkada. Ilustrasi
Pilkada. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada dinilai jangan sampai diskriminatif terhadap calon perseorangan untuk maju dalam Pilkada 2017.

"Kalau sampai mempersulit, berarti UU Pilkada diskriminatif," kata Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia Anang Zubaidy dalam diskusi "Calon Independen: Antara Penguatan Demokrasi dan Deparpolisasi" di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Rabu (30/3).

Menurut Anang, selama ini persyaratan dukungan calon perseorangan maju dalam pilkada sudah cukup berat, yakni 6,5-10 persen dari daftar pemilih tetap (DPT) sesuai yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015.

Dengan persyaratan tersebut, menurut dia, calon kepala daerah yang maju secara independen sulit menang. Mengacu pada catatan Skala Survei Indonesia (SSI) dalam Pilkada 2015, calon independen yang menang hanya 14,4 persen, sementara yang kalah 85,6 persen. "Sebagian kandas karena persyaratan dukungan," kata dia.

Karena itu, menurut dia, RUU Nomor 8 Tahun 2015 tersebut seharusnya lebih memperingan syarat calon dukungan tersebut guna memberikan alternatif bagi masyarakat menentukan pilihan politiknya sekaligus meningkatkan partisipasi politik masyarakat.

"Calon independen jangan dianggap sebagai bencana politik, sebab dengan adanya calon independen justru dapat mendorong parpol untuk berbenah," kata dia.

Rencana pengetatan persyaratan calon independen, dengan menaikkan syarat dukungan, bisa memunculkan opini sebagai ketakutan parpol, yang justru dapat memunculkan deparpolisasi. "Rencana menaikkan syarat calon perseorangan naik menjadi 15-20 persen jumlah pemilih dengan menyamakan syarat dukungan calon dari parpol jelas tidak fair. Sebab, calon dari parpol cukup mendapatkan restu dari elite partai untuk mendapatkan dukungan," kata dia.

Peneliti lainnya dari Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia (PSHK UII) Allan Fatchan Gani Wardhana mengatakan, masyarakat dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) apabila hasil revisi UU Pilkada diskriminatif terhadap pencalonan perseorangan.

"Jika UU Pilkada diskriminatif, masyarakat atau pihak yang mencalonkan diri bisa melakukan gugatan hukum," kata dia.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement