REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Peneliti Divisi Korupsi Politik dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Sjafrina mengkritik munculnya wacana keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) unsur partai politik (parpol). Menurut dia, parpol harus terlebih dulu fokus membenahi internal dan perannya cukup sebagai peserta pemilu.
"Parpol fokus saja menjadi peserta pemilu dan fokus pada pembenahan di internal parpol itu sendiri," kata dia dalam sebuah diskusi RUU Pemilu di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (25/3).
Bagi Almas, tidak mungkin KPU sebagai wasit pemilu kemudian sekaligus menjadi pemain. Namun, jika ini terjadi, independensi yang seharusnya dijaga KPU, pun hilang. Sebab, konflik kepentingan di internal KPU bakal sangat tinggi.
"Tentu saja ini ada potensi terjadi konflik kepentingan. Parpol adalah peserta pemilu. Tidak mungkin wasit sekaligus pemain. Ini (kalau terjadi) akan ada irisan konflik kepentingan yang cukup tinggi. Benahi saja dulu parpolnya," kata dia.
Almas menjelaskan masyarakat tidak ingin parpol masuk KPU kembali seperti pada pemilu 1999, bukan berarti membenci parpol. Tapi, publik tentu bisa menilai dan melihat bagaimana performa yang ditunjukan parpol selama ini.
"Saya sepakat penyelenggara pemilu kita masih jauh dari kata bagus, tapi juga threatment-nya, menjawabnya, bukan dengan menjadikan parpol itu anggota komisioner KPU sendiri," ujar dia.
KPU saat didirikan pada 1999, tepatnya menjelang pelaksanaan Pemilu 1999, diisi banyak anggota yang berasal dari kalangan parpol dan pemerintah. Saat itu anggotanya berjumlah 53 orang yang terdiri dari unsur parpol dan pemerintah. Sedangkan jumlah parpolnya sendiri ada 48.
Beberapa hari belakangan, wacana dimasukannya unsur parpol ke dalam kursi keanggotaan KPU kembali mencuat. Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu mewacanakan keanggotan di KPU di antaranya berasal dari parpol. Wacana tersebut muncul setelah Pansus RUU Pemilu melakukan kunjungan kerja ke Jerman dan Meksiko.