REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia menilai kejanggalan hasil perolehan suara di 17 tempat pemungutan suara (TPS) di Ketapang Barat, Sampang, Madura sudah mengarah ke pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur dan massif. Perolehan nol suara pada pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla mengundang pertanyaan besar dan kecurigaan bagi publik.
Wakil Sekjend KIPP Indonesia, Girindra Sandino, mengatakan nol suara yang diraih salah satu pasangan capres-cawapres tersebut jelas mengundang pertanyaan miring publik apa sebenarnya yang terjadi. Apakah murni suara rakyat atau sebuah manipulasi brutal yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu.
“Tidak masuk akal di 17 TPS, yang pemilihnya rata-rata 400 lebih, pemilih tidak memilih satu pun salah satu capres-cawapres. Dan kejanggalan juga terlihat dengan tidak adanya tanda tangan saksi dari kedua capres-cawapres,” kata Girindra melalui siaran pers yang diterima Republika Online, Selasa (15/7) malam.
Oleh karena itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan jajarannya, kata Girindra, harus bertindak dengan mengedepankan profesionalitas dan netralitasnya serta asas-asas lain yang melekat sebagai penyelenggara pemilu. Karena, kasus tersebut sudah mengarah ke pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur dan massif.
Girindra menilai KPU dan Bawaslu beserta jajarannya dan pihak kepolisian harus mengungkap kejahatan pemilu tersebut karena sudah merupakan tindak pidana pemilu. Pasal-pasal pidana dalam UU Pilpres jangan dijadikan area of no enforcement atau sekadar pasal-pasal pajangan.
Konsistensi penegakan hukum dipertaruhkan untuk mencegah peristiwa pidana dalam skala yang lebih luas seperti election frauds conspiracy (konspirasi kecurangan pemilu).
“Pihak capres dan cawapres yang merasa dirugikan juga harus membuat tim investigasi untuk memaksimalkan temuan kejanggalan kejahatan pemilu di sana,” katanya.