REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembiayaan saksi parpol oleh negara mendapat penolakan dari Partai Golkar. Wasekjen Partai Golkar, Leo Nababan meminta agar Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat aturan baru yang lebih murah.
"Golkar lebih setuju, kalau saksi-saksi parpol itu tidak dibiayai negara. Itu ratusan miliyar uangnya," kata Leo saat di Gedung KPU, Jakarta, Jumat (24/1).
Menurutnya, terobosan baru dari Bawaslu dan KPU tentang saksi parpol ditunggu untuk efisiensi pengeluaran negara. Jika untuk meminimalisasi kecurangan saat pencoblosan di tempat pemungutan suara (TPS), tidak perlu negara sampai menggelontorkan uang sebanyak yang dimintakan Bawaslu.
"KPU dan Bawaslu bisa saja membuat aturan tentang menggunting semua surat suara yang tidak terpakai setelah TPS ditutup," ujar dia.
Menurutnya, saksi parpol tidak perlu ada kalau Bawaslu melakukan pengawasan yang benar. "Sudahlah, bikin saja aturan baru tentang pengawasan Bawaslu dan KPU. Itu kan cuma modal satu lembar kertas. Nggak perlu biaya-biaya negara," ujar dia.
Bawaslu mengakomodasi permintaan peserta pemilu untuk menghadirkan saksi parpol di seluruh TPS dalam pemilu 2014. Kehadiran 12 saksi tiap parpol itu akan menjadi beban negara.
Ketua Bawaslu Muhammad mengatakan, upah setiap saksi itu per orang senilai Rp 100 ribu. Artinya, negara akan mengeluarkan anggaran Rp 700 miliar. Dengan rincian, Rp 1,2 juta dikali 545.778 jumlah TPS.
Bawaslu juga meminta anggaran biaya upah mitra pengawas selain Pengawas Pemilu Lapangan (PPL). Mitra pengawas ini, terdiri dari dua orang di tiap TPS dengan upah serupa.
Total anggaran yang dibutuhkan Bawaslu untuk pengawasan tersebut tidak kurang dari RP 1,5 triliun. Sementara itu, negara sudah menyetujui nilai anggaran Bawaslu lewat APBN senilai Rp 3,2 triliun.
Dengan permintaan baru itu, negara ditaksir akan membiayai fungsi pengawasan pemilu tidak kurang dari Rp 4,7 triliun.