REPUBLIKA.CO.ID, BANDARLAMPUNG -- Pengamat politik dari FISIP Universitas Lampung Dr Syarief Makhya MP menilai pengalaman koalisi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus menjadi pelajaran untuk memperbaiki pemerintahan ke depan.
"Artinya, koalisi harus dibangun oleh kesamaan visi untuk membangun Indonesia yang lebih baik dan komitmen itu harus didukung oleh platform politik yang sama di antara yang berkoalisi serta didukung oleh kekuatan politik di DPR," ujarnya di Bandarlampung, Ahad (23/4).
Selain itu, format politik ke depan juga harus ada pemisahan yang jelas siapa yang berkuasa dan siapa yang mengontrol. "Jangan sampai koalisi membangun kompromi politik dan menghilangkan esensi kontrol terhadap penguasa," katanya.
Dengan kata lain, kata dosen FISIP Unila itu, harus ada partai yang memosisikan diri sebagai partai yang mengontrol penguasa pascapilpres.
"Saya prediksi peta koalisi untuk pencalonan presiden dan wakil presiden akan berdasarkan alasan pragmatisme politik dan cenderung lebih rasional mempertimbangkan potensi dukungan riil," katanya.
Menurut Syarief, dalam hal koalisi calon presiden itu hanya PDI Perjuangan yang kemungkinan bisa mengusung pasangan capres-cawapres tanpa harus koalisi.
"Itu pun jika hasil konversi kemenangan sekitar 19 persen secara nasional seperti diprediksi atas hasil hitung cepat dapat mencapai minimal 116 kursi di DPR. Jika konversi suara itu tidak mencapai angka minimal kursi di DPR tersebut, maka PDI Perjuangan tetap harus berkoalisi dengan partai lain," ujarnya.
Dia memprediksi kemungkinan akan ada tiga capres yang berkoalisi, yaitu PDI Perjuangan yang akan mencalonkan Joko Widodo (Jokowi), Partai Gerindra dengan capres Prabowo Subianto, dan satu lagi capres yang diusung Partai Golkar yaitu Aburizal Bakrie (Ical).
Syarief menganalisa bahwa peta koalisi itu cenderung lebih rasional, yaitu mempertimbangkan potensi dukungan riil dan pragmatis serta tidak berbasis ideologis.
"Jadi, pertarungan capres nanti cenderung di antara partai nasionalis. Sementara partai-partai Islam, seperti PPP, PKB, PAN, dan PKS hanya menjadi peserta koalisi dengan target bargaining di posisi cawapres atau posisi menteri dalam kabinet," katanya lagi.
Potensi partai Islam untuk berkoalisi dalam mengusung capres sendiri, menurut Syarief, seperti akan sulit terwujud, karena perbedaan sikap politik yang beragam dan orientasi politik masyarakat Islam yang sudah inklusif.
"Problemnya, untuk membangun koalisi bukan hanya sebatas pada pemenuhan syarat untuk mengusung capres, tetapi juga harus berorientasi membangun pemerintahan yang kuat," katanya.