Petugas melakukan pendataan perhitungan suara Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) di Populi Center, Jakarta, Rabu (9/4).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernyataan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi, yang mengatakan jika rekapitulasi suara (real count) Komisi Pemilihan Umum (KPU) memenangkan Prabowo, maka ada yang salah dengan perhitungan KPU, jangan sampai dipolitisasi.
Pasalnya, kegigihan Burhan mempertahankan kebenaran hasil dan proses quick count lembaganya atas Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 lalu merupakan bagian dari tanggung jawab scientific (keilmuwan).
“Ini kegiatan scientific, nggak usahlah ditarik-tarik ke proses politik,” kata Direktur Eksekutif Populi Center Usep S Ahyar saat dihubungi wartawan di Jakarta, Senin (14/7).
Usep mengatakan, hasil quick count memang bisa saja salah, berbeda dengan real count KPU. Oleh sebab itu, dalam survei maupun quick count ada yang namanya kesalahan yang ditoleransi atau margin of error. Namun, jika quick count itu dilakukan dengan kerangka penelitian, sampling dan metodologi yang benar secara ilmiah, maka hasilnya akan mendekati hasil yang sesungguhnya.
Dalam konteks Pilpres 9 Juli lalu, menurut dia, hasil quick count IPI tak jauh berbeda dengan hasil quick count Populi Center. “Yang penting, quick count itu bukan pada salah atau benarnya. Yang paling penting itu tidak bohong, setia pada metodologi, dan lainnya,” kata Usep.
Ketua Umum Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) Nico Harjanto menyatakan, hasil real count KPU bukan tidak mungkin mengalami penyimpangan atau bias. Pasalnya, real count KPU itu dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat TPS, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga tingkat nasional dan melibatkan banyak pihak.
“Sedangkan, quick count itu datanya langsung diambil dari TPS dan tidak melibatkan banyak orang seperti rekap manualnya KPU,” kata Nico.