REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim kampanye Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) merasa dirugikan oleh insiden di Hong Kong. Karena, seharusnya masyarakat yang belum mencoblos di negara itu bisa difasilitasi pemerintah.
Anggota timses Jokowi-JK, Yuddy Chrisnandi menyatakan, 16 Tahun arus gelombang reformasi yang dulunya digelorakan oleh rakyat seharusnya dihargai hingga saat ini. Mereka menginginkan perubahan lebih baik agar berjalan di bumi Indonesia. Sayangnya, proses demokrasi pilpres secara langsung cenderung masih belum berjalan dengan baik.
Dia mencontohkan kekisruhan WNI dengan Petugas Konsulat Jenderal RI (KJRI) dan Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) yang terjadi pada saat pilpres.
"Jelas sekali terlihat bahwa tidak ada kesiapan yang baik dari PPLN dan petugas KJRI di Hong Kong dalam menyelenggarakan tahapan pilpres," kata dia di Jakarta, Selasa (8/7).
Kegagalan pertama adalah tidak adanya pengarahan dan pemberitahuan. Khususnya bahwa yang mendapat undangan memilih capres dan cawapres itu langsung masuk ke TPS tanpa perlu mengantre.
Ketua DPP Partai Hanura itu menyatakan jika ada pengarahan maka tentu WNI yang ingin mencoblos tidak akan panjang mengantre. Tahapan pemilu pun akan dapat berjalan dengan baik.
Jadi sistem manajemen pelaksanaan pilpres di Hongkong kemarin itu tidak ada sehingga membuat hasil pemilu di Hongkong menjadi amburadul.
Kedua, harusnya petugas PPLN dan KJRI bukan menyetop pelaksanaan pilpres yang masih belum selesai itu. Meski pun melewati batas izin sewa lapangan Victoria Park Hongkong yang hanya sampai pukul 17.00 waktu setempat.
"Karena yang salah dalam hal ini kan dari PPLN dan KJRI bukan dari WNI yang mau memilih. Jadi seharusnya ada pengalihan tempat pencoblosan jika di lapangan Victoria Park sudah tidak diperbolehkan lagi," ujar Yuddy.
Ketiga, Yuddy mengaku, mendapat kabar bahwa petugas PPLN dan KJRI di Hongkong kurang profesional. Netralitas mereka bahkan patut dipertanyakan. "Mereka patut dilaporkan ke Bawaslu," imbuh Yuddy.