REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pengamat Politik Universitas Jayabaya Igor Dirgantara, mengatakan pihaknya meyakini pertemuan Joko Widodo dengan Duta Besar Amerika Serikat (AS) Robert O Blacke untuk membahas kepentingan Pemilu 2014 serta figur cawapres Jokowi.
"Seperti biasa AS akan tanamkan dukungan dan pengaruh baik terhadap figur atau arah kebijakannya. Ini bentuk pendiktean terhadap Indonesia akan posisi strategisnya terhadap dinamika masa depan kawasan Asia Tenggara," ujar Igor Dirgantara di Jakarta, Selasa.
Igor menanggapi calon presiden Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Joko
Widodo bersama Ketua Umum Megawati Soekarnoputri bertemu sejumlah duta besar antara lain Dubes AS, Turki, Peru, Mexico, Norwegia dan Inggris di rumah salah seorang pengusaha yakni Jacob Soetojo yang berada di kawasan Permata Hijau Jakarta Selatan, Senin (14/4) malam.
Menurut Igor, wacana 'capres boneka' bukan sesuatu yang mustahil buat Jokowi dalam upaya mencari dukungan negara besar dalam pencapresannya tahun ini.
"Wujud nyata kepentingan Amerika Serikat dalam menguasai perekonomian dan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia sebetulnya telah terungkap dari kasus terbongkarnya penyadapan dan kebocoran kawat diplomatik Amerika Serikat oleh Edward Snowden," kata dia.
Ia mengatakan Amerika Serikat gemar mengunjungi negara yang dianggap sekutunya untuk mendukung politik anti Suriah dan Iran. Padahal Indonesia menganut politik bebas dan aktif dari campur tangan negara besar.
Negeri Paman Sam tersebut, lanjutnya, saat ini gencar mempropagandakan Trans Pacific Partnership (TPP) dan ingin memasukan Indonesia sebagai anggotanya, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Namun, semua perdagangan bebas regional selalu berdampak negatif bagi Indonesia.
Karena itu, bangsa Indonesia perlu mewaspadai dengan apa yang sekarang ini terjadi di Ukraina akibat campur tangan Amerika Serikat.
"Isu besar dibalik jatuhnya Presiden Yanukovich sebenarnya adalah pertarungan penguasaan energi global antara kelompok negara TPP yang diusung AS melawan negara-negara yang tergabung dalam BRICS yang dimotori Cina dan Rusia. Amerika Serikat senantiasa punya manuver politik mematikan bagi negara yang kaya sumber daya Alam tapi tidak pro-Washington," kata dia.
Belum lagi apabila itu dikaitkan dengan adanya kepentingan korporasi besar Amerika Serikat seperti kontrak Freport di Papua, Newmont dan lainnya.
Karena, AS ingin agar Asia Tenggara lebih membuka akses perdagangannya demi memulihkan kembali perekonomiannya yang terpuruk akibat krisis.
"Semua Masalah tersebut bisa berdampak terhadap kedaulatan wilayah NKRI. Kepentingan AS lainnya di Indonesia adalah Modernisasi Kedubes AS di Jakarta yang menelan biaya 4,2 triliun," imbuhnya.
"AS selalu memonitor Indonesia sejak dulu dan menjadikan isu HAM, demokrasi, dan terorisme sebagai instrumen dasar untuk mencampuri urusan dalam negeri. Sehingga akan selalu akan ada rasa curiga dan sentimen negatif terhadap AS dari masyarakat Indonesia dalam hubungan kedua negara. Begitu juga terhadap Jokowi," kata dia.