REPUBLIKA.CO.ID, Tenun pernah dianggap buah tangan terindah bagi pelancong yang datang ke sebuah daerah di Indonesia. Bagi beberapa suku, kain tenun bahkan dipandang begitu berharga hingga hanya bangsawan yang boleh memakainya.
Kain tenun sekarang mulai menggeser popularitas batik. Pada pria muda berkemeja tenun lengan pendek sekarang jamak dilihat di kawasan perkantoran. Sementara mengenakan atasan atau jaket tenun pun dianggap modis oleh kaum Hawa.
Kepopuleran tenun namun belum dibarengi perbaikan nasib penenun. Beberapa tenun bahkan terancam punah, seiring makin sedikitnya orang yang bisa menenun motif tertentu.
Sjamsidar Isa dari Cita Tenun Indonesia mengatakan beberapa tenun sudah sulit dicari. Contohnya, tenun dari Kabupaten Sambas di Kalimantan Barat. Banyak penenun Sambas yang justru angkat kaki ke Brunei Darussalam serta Malaysia untuk bekerja sebagai TKW. Pilihan itu terpaksa diambil meski upahnya sangat rendah, karena karya tenun mereka lebih tidak menghasilkan uang lagi.
‘’Motif-motif tua akhirnya mulai punah,’’ sambung Dinny Jusuf, pengusaha UKM yang membuat kerajinan dari tenun toraja bermerek Toraja Melo.
Kata Dinny, ada beberapa motif yang sekarang hanya bisa ditenun oleh beberapa perajin. Umumnya mereka sudah lansia dan tidak tertarik membagi ilmu menenunnya ke kalangan muda.
Sementara kaum muda Toraja memilih bekerja sebagai TKW ke Malaysia daripada menjadi perajin tenun. ‘’Menenun di Toraja juga merupakan pekerjaan sambilan,’’ sambung Dinny, menceritakan kendala mengembangkan tenun toraja.
Para nenek mencicil tenunan sambil mengurus cucu yang ditinggal ibunya bekerja ke Malaysia. Listrik yang belum sepenuhnya masuk ke pelosok Toraja membuat penenun juga memilih menenun warna-warna terang karena bisa dikerjakan di dalam rumah.
Kain tenun berwarna gelap lalu harus dikerjakan di teras rumah dengan bantuan cahaya matahari. Dinny mengatakan, tenun toraja sulit untuk maju bila proses pekerjaannya masih sangat sederhana.
Irna Mutiara, perancang busana Muslim yang pernah bekerja dengan bahan tenun asal NTB mengatakan belum semua tenun sudah terekspos. ‘’Sulaman NTB juga makin ke sini makin hilang,’’ ujarnya. Ketertarikan Irna pada sulaman dari Lombok dan Sumbawa membawanya merancang busana Muslim dengan aksen sulam.
Kain tenun yang diolahnya diambil dari Dusun Pringgasela, Dusun Gumise, Dusun Bun Mudrak, Dusun Sukarara, dan Kota Mataram. Irma mengambil tenun dalam warna lembut dan motif tradisional geometrik, kotak-kotak, dan garis-garis.
Namun, kendala dihadapi Irna ketika bekerja dengan tenun tersebut. ‘’Benangnya terlalu tebal,’’ ujarnya. Padahal, Irna ingin menggarap busana siap pakai yang ringan. Untuk menyiasatinya, Irna membawa sendiri benang dan diberinya ke perajin demi mendapat tekstur kain yang lebih halus.
Perancang busana Sonny Muchlison menilai, seorang desainer harus mengerti cara melestarikan budaya. Menurutnya, perancang busana memegang peranan penting dalam mengenalkan budaya bangsa. Lihat saja batik. Berkat tangan ulet para desainer, batik membawa nama Indonesia ke luar negeri.
Semoga saja tangan ulet para desainer Indonesia mampu mengangkat pamor tenun. Sekaligus melestarikannya.