Senin 19 Aug 2013 11:09 WIB

Sulit Hamil, Coba Terapi Ini

Red: Endah Hapsari
Konsultasi dokter/ilustrasi
Foto: medicalcareers.nhs.uk
Konsultasi dokter/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Ny Ani (40) sudah sebelas tahun menikah. Namun, ia belum juga mendapatkan momongan. Padahal saat diperiksa dokter, kandungannya dinyatakan normal. Lalu, salah seorang teman menyarankannya untuk terapi hormon. Hasilnya? Sungguh sangat membahagiakan hati Ani dan suaminya. Bayangkan, hanya tiga bulan setelah melakukan terapi itu pada seorang dokter di salah satu rumah sakit di Jakarta, ia positif hamil.  Melihat 'kesaktian' terapi ini, mungkin Anda bertanya: bagaimana sih sebenarnya terapi ini dilakukan dan hormon apa yang diberikan sang dokter pada para wanita seperti Ani? 

Seperti dijelaskan Dr dr Ichramsjah A. Rachman, SpOG (K-FER) dari Subbagian Imunoendokrinologi Reproduksi Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM, terapi hormon biasanya dilakukan pada wanita yang tidak ada ovulasinya. Dengan demikian terapi hormon pada wanita yang ingin memiliki anak dimaksudkan untuk menyeimbangkan hormon yang semula tidak normal. Adapun hormon yang mengatur ovulasi adalah: hormon estrogen, FSH (folicle stimulating hormone), LH (luteinizing hormone), progesteron, dan prolaktin. ''Keseimbangan hormon itulah yang menyebabkan ovulasi terjadi,'' kata Ichramsjah. 

Ia jelaskan bahwa jika seorang wanita ingin bisa hamil, ada dua hal yang harus dilihat: 

* Pertama: anatomi/kandungannya harus normal, seperti uterus, rahim, dan lain-lain.

* Kedua: hormonnya harus normal. 

''Kalau ternyata kandungannya normal, maka baru hormonnya yang kita periksa, apakah hormon FSH, LH, estrogen, dan lain-lain, juga normal. Kita bisa melihat, misalnya pada seorang perempuan yang tidak menstruasi, ternyata prolaktinnya tinggi. Itu memang hiperprolaktin, sehingga hormon ini yang harus diseimbangkan.''

Mengingat ada beberapa hal yang perlu dilihat dokter mengenai kondisi kandungan maupun hormon pasien, maka sebelum terapi dijalankan, dokter terlebih dahulu akan memeriksa si pasien. Salah satunya, pemeriksaan anatomi kandungan. Jika dalam pemeriksaan terlihat bahwa saluran telur tidak tersumbat, maka terganggunya proses kehamilan barangkali akibat ketidakseimbangan hormon. ''Oleh sebab itu dalam terapi hormon itu setiap kelainan harus dimonitor. Seandainya ada myoma atau tumor dan juga terjadi ketidakseimbangan hormon, maka myoma atau adanya kelainan anatomi harus dibersihkan dulu,'' terang dokter yang biasa melakukan terapi hormon di Makmal Terpadu FKUI/RSCM ini. 

Setelah anatominya normal, barulah terapi hormon dilaksanakan, dan ini disesuaikan dengan kelainan hormon yang dialami pasien. Meski bermanfaat, namun terapi hormon belum bisa menjangkau semua wanita yang mengalami kesulitan untuk hamil. Mengapa begitu? Tak lain karena biayanya yang relatif mahal. 

Selain itu, seperti pengobatan pada umumnya, terapi hormon pun ada efek sampingnya. Menurut Ichramsjah, efek samping dari pemberian hormon bisa merugikan diri sendiri, misalnya komplikasi dari kelebihan hormon itu. Jika terlalu banyak memberi hormon prolaktin maka akan terjadi hipoprolaktin yang mengakibatkan tidak adanya ovulasi dan menstruasi pun tidak lancar (sedikit). Dan bila terlalu banyak memberikan hormon estrogen bisa menyebabkan kanker endometrium atau kanker payudara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement