REPUBLIKA.CO.ID, Banyak perempuan, khususnya di daerah pedesaan, hanya diberikan obat penahan nyeri untuk menangani masalah endometriosis. Di samping itu, Indonesia masih mengalami keterbatasan tenaga dokter spesialis dan alat operatif (laparoskopi).
Masyarakat juga masih banyak yang mengira nyeri prahaid merupakan hal biasa dan akan hilang dengan sendirinya ketika menikah dan mempunyai anak sehingga tidak perlu berkonsultasi ke dokter. “Kondisi tersebut menyebabkan tertundanya diagnosis dan dilakukannya terapi endometriosis,” kata Kepala Divisi Endokrinologi Reproduksi Departemen Ilmu Kebidanan dan Kan dungan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RS Cipto Mangunkusumo (FKUI/ RSCM) Jakarta, Prof Ali Baziad SpOG (K).
Untuk mengatasi endometriosis, Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia telah memiliki pedoman tata laksananya, Pertama, manajemen nyeri dengan menggunakan antinyeri, antisteroid, golong an hormon, serta golongan enzim dengan prinsip pengobatan mem buat menopause atau kehamilan palsu. Dalam keadaan nyeri tidak ter tolong karena adanya kista, pengobatan dapat dikombinasikan dengan tindakan laparoskopi atau laparoktomi (pembedahan).
“Selanjutnya, manajemen infertilitas. Biasanya dilakukan operasi karena endometriosis akan mengganggu menempelnya janin ke rahim, gerak sperma, pematangan sel telur, menyumbat saluran telur, serta meng ubah struktur anatomi organ genitalia,” papar dr H Andon Hestiantoro SpOG (K) dari Divisi Imunoendokrinologi Reproduksi Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM.
Jangan dibiarkan, karena bila tidak endometriosis bisa memicu penurunan kualitas hidup, perempuan banyak yang tidak masuk kerja, bahkan bisa pula berujung pada perceraian karena mengalami nyeri saat berhubungan suami istri.