REPUBLIKA.CO.ID, Pencegahan primer dapat dilakukan dengan sebisa mungkin mencegah terjadinya kontak dengan HPV. Untuk itu, petugas kesehatan, masyarakat penggerak perubahan, dan semua perempuan mesti lebih memahami penyebab, faktor risiko, penularan, dan gejalanya. Pemberian vaksinasi HPV juga sangat dianjurkan saat anak perempuan berusia sembilan hingga 12 tahun. Pada usia tersebut antibodi terbentuk. Vaksinasi masih bisa diberikan sampai usia 55 tahun. “Vaksin ini bisa bertahan hingga 20 tahun,” kata Fitriyadi.
Pencegahan sekunder dilakukan dengan menjalani screening, yakni deteksi dini dan pengobatan prakanker. Salah satu cara deteksi dini ialah dengan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA). Dengan IVA akan terpantau kelainan pada epitel serviks (sel yang melapisi leher rahim). Tes ini termasuk cara pendeteksian yang murah dan sederhana. Namun, hasilnya dapat dipertanggungjawabkan untuk dapat mendeteksi dini kanker serviks. “Setiap perempuan berisiko kanker serviks sehingga ia harus melakukan screening IVA meskipun sudah mela kukan vaksinansi,” ujar Fitriyadi.
Saat melakukan IVA, tenaga kesehatan akan mengoleskan asam asetat tiga persen ke leher rahim. Dalam be berapa saat akan terpantau hasilnya. Jika ditemukan tanda berwarna putih dalam serviks, pasien berarti positif kanker serviks. “Akurasi dengan IVA mampu sekitar 80 sampai 90 persen,” katanya. Selain IVA, pap-smear juga banyak digunakan untuk deteksi dini. Caranya berbeda dengan IVA. Petugas kesehatan terlatih akan mengambil contoh sel-sel leher rahim, kemudian meng analisisnya.
Sementara itu, pencegahan tersier dilakukan dengan perawatan bagi pasien yang sudah positif kanker, rehabilitasi, dan perawatan paliatif. Pasien yang positif kanker serviks, sebaiknya langsung mendapatkan terapi cryotherapy. Begitu terlihat sel kanker, sebaiknya sel tersebut langsung ditembak dengan metode cryotherapy. “Metode ini paling tepat guna dilaku kan di Indonesia,” ujarnya seraya menambahkan untuk penanganan lainnya bisa dilakukan kolonoskopi, biopsi, dan conization.