REPUBLIKA.CO.ID, Banyak calon ibu yang merasa lega begitu melewati trimester pertama dan kedua. Apalagi, ketika rasa sakit akibat pembesaran rahim, mual, dan sesak sudah terasa berkurang.
Padahal, trisemester terakhir tak kalah pentingnya untuk diwaspadai. “Trimester terakhir merupakan periode paling penting dan rawan bagi keselamatan ibu dan bayinya,” jelas dokter kandungan Dr Dwiana Ocviyanti SpOG(K).
Di trimester ketiga terkadang muncul risiko yang sangat besar. Jika pemicunya tidak ditangani dengan baik, bukan mustahil dapat berujung pada kematian ibu.
“Misalnya jika terjadi pendarahan, preeklampsia, atau infeksi,” ungkap dosen Departemen Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) itu.
Sebagian besar kasus kematian ibu saat proses persalinan dipicu oleh pendarahan. Kondisi ini dapat menyebabkan kematian ibu dengan sangat cepat.
Jika terjadi pendarahan, biasanya dalam satu menit darah yang keluar bisa mencapai 500 cc, sedangkan darah dalam tubuh hanya lima liter. “Ini berarti hanya dibutuhkan waktu 10 menit hingga darah dalam tubuh kita habis,” urai Dwiana.
Pendarahan saat persalinan paling sering terjadi akibat plasenta menutupi jalan lahir (plasenta previa) dan plasenta lepas dari dinding rahim (solutio plasentae). Dalam kasus plasenta previa , plasenta yang seharusnya menempel di bagian rahim malah lekat di mulut rahim. Ketika terjadi pembukaan, maka pembuluh darah akan sobek dan darah mengucur deras sementara bayi masih di dalam rahim.
Dwiana mengatakan, tidak ada cara untuk mencegah terjadinya plasenta previa. “Semua itu nasib, tetapi bisa diidentifikasi dengan ultrasonografi (USG) di usia kehamilan tiga sampai empat bulan,” ujarnya.
Untuk itu, Dwiana mengimbau para ibu hamil agar rutin memeriksakan kehamilannya. Faktanya, ibu hamil kebanyakan hanya rajin memeriksakan kandungannya saat kehamilan pertama. Begitu hamil lagi, mereka malas check up.
Padahal, risiko komplikasi justru meningkat bagi perempuan yang sering hamil.
Sementara itu, solusio plasentae biasanya terjadi karena trauma seperti terjatuh atau meng alami kekerasan. Kondisi ini berbahaya karena akan memicu pendarahan dan kematian bagi ibu maupun janin.
Selain kedua kondisi tersebut, pendarahan pasca persalinan juga kerap terjadi. Makin sering melahirkan, risiko pendarahan menjadi semakin tinggi.
Dwiana mengibaratkan rahim ibaratnya karet. Jika sering digunakan, rahim makin sering melar dan kempes dan pada akhirnya akan sulit menyusut kembali. Inilah yang menyebabkan pendarahan pascapersalinan. Jika sang ibu meng alami kurang gizi, anemia, atau kurang tidur,itu akan memperburuk kondisi tersebut.
Anemia adalah kondisi ketika sel darah merah berkurang. Sebagian masyarakat masih salah kaprah menilai bahwa anemia adalah tekanan darah rendah. Tekanan darah rendah saat hamil justru tidak masalah. Mengonsumsi tablet penambah darah akan percuma jika tidak diimbangi makanan bergizi. Beberapa tanda anemia yakni mata dan kulit pucat, mudah lemas, dan jantung berdebar.
Risiko pendarahan pasca persalinan dapat diturunkan dengan melakukan perbaikan kondisi fisik, termasuk kecukupan zat gizi ibu saat hamil. Hindari obesitas, cukupilah protein dan asam folat.
Tubuh juga membutuhkan vitamin C dan mineral. Beberapa makanan yang disarankan di antaranya hati, daging, ayam, ikan, telur, kacang-kacangan, sayur-sayuran hijau, alpukat, dan brokoli.
Selain pendarahan, preeklampsia juga menjadi pembunuh diam-diam ibu hamil. Preeklampsia biasanya dialami oleh ibu bertubuh gemuk (terlalu banyak lemak) dan kekurangan protein. Tandatanda preeklampsia di antaranya tekanan darah tiba-tiba meninggi dan terjadi kejang-kejang.
Preeklampsia dapat dideteksi saat usia kandungan tujuh bulan ke atas. “Jadi, jangan pernah melewatkan pemeriksaan kehamilan di trimester ketiga karena sangat penting bagi ibu dan juga bayi yang akan dilahirkan,” ujar Dwiana.