REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tariska Verina Luthfiyah, kelas 5 SD, setiap hari sekolah pukul 7 pagi sampai 12 siang. Sepulang sekolah, ia harus les matematika dan bahasa Inggris. Lalu pulang les, dia harus mengaji di mushola dekat rumahnya.
Setelah itu, ia masih harus mengerjakan pr (pekerjaan rumah) atau sekadar mengulang pelajaran sekolah dimalam harinya. Deretan hal itu terjadi tiap harinya bagi Tariska.
Mengamati hal tersebut, Psikolog Anak dan Keluarga, Roslina Verauli, M.Psi, mengaku miris. Baginya hal tersebut menyedihkan. Sebab, menurutnya anak yang selalu dicekoki pelajaran akan berdampak buruk pada dirinya.
Ia menemukan sendiri fakta dilapangan saat praktik di Rumah Sakit Pondok Indah. Seorang dokter merujuk pasien kepada dirinya. Anak ini mengeluh sakit kepala dan sakit perut. Setelah dicari penyebabnya, ternyata anak ini terlalu sering belajar.
Hal ini sejalan dengan data dari U.S Department of Education (2010). Terlalu berpusat pada kegiatan belajar akademis yang membutuhkan tuntutan kognitif tingkat tinggi yang berlebihan (waktu panjang tanpa jeda bermain) justru menghasilkan anak-anak dengan stress, gangguan konsentrasi dalam belajar, kelelahan, serta meningkatkan keluhan masalah-masalah fisik (sakit perut dan sakit kepala).
Selain itu, lanjut perempuan yang akrab disapa Vera ini, anak juga jadi cenderung agresif, keterampilan sosial yang vital, kerjasama, leadership dan follower ship yang akan diadopsi di kelas tidak berkembang.