Selasa 29 Apr 2014 07:53 WIB

Membentengi Anak dari Perilaku Konsumtif (3-Habis)

Rep: Desy Susilawati/ Red: Indira Rezkisari
Dengan pola pengasuhan yang tepat anak bisa dididik memiliki kebiasaan konsumsi yang baik.
Foto: Wihdan Hidayat/Republika
Dengan pola pengasuhan yang tepat anak bisa dididik memiliki kebiasaan konsumsi yang baik.

REPUBLIKA.CO.ID, Anak-anak perlu belajar menjadi konsumen cerdas. Bimbing mereka untuk jeli melihat kemasan produk yang ingin dibeli.

Untuk makanan kemasan, contohnya, perlihatkan waktu pembuatan dan kedaluwarsanya. Lantas, ajak anak untuk meneliti kemasan dan sarankan mereka agar tak memilih produk yang kemasannya rusak. Hal penting lainnya yang mesti diperhatikan adalah kandungan gizi makanan tersebut.

Kejelian serupa juga harus anak terapkan saat tertarik dengan suatu mainan anak. Biasakan agar anak ikut terlibat memilih mainannya. Sambil memilih, perkenalkan kriteria mainan yang boleh dibeli.

Anak perlu memahami hanya mainan yang sesuai usianya saja yang layak untuk dimiliki. “Sebagian orang tua jarang memerhatikan aturan usia tersebut sehingga membahayakan anaknya,” sesal Tulus Abadi, pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Orang tua dapat memperlihatkan pada anak logo standar nasional (SNI). Berikan penjelasan, logo SNI menjamin kenyamanan dan keselamatan pengguna produk. “Jangan lupa untuk mencermati bahan-bahan yang terkandung dalam mainan, berbahaya atau tidak untuk anak kita,” saran Tulus.

Lalu, bagaimana jika anak menemukan barang yang dibeli tidak sesuai dengan yang dijanjikan produsen? Tulus mengimbau orang tua untuk tak ragu mengembalikan barang tersebut kepada produsen. Dengan begitu, ayah dan ibu dapat memberi contoh cara menjadi konsumen cerdas.

“Selagi anak masih balita, belum memahami haknya sebagai konsumen, orang tuanyalah yang harus tampil sebagai konsumen cerdas,” kata Tulus.

Saat anak sudah duduk di bangku SD, orang tua dapat memberikan arahan yang lebih konkret. Misalnya, dengan memperkenalkan jajanan yang berbahaya sehingga anak dapat mengenali dan menghindarinya.

Anak pun perlu berhati-hati membeli paket makanan yang berhadiah mainan. Iming-iming tersebut bisa memicu anak menjadi konsumtif. Apalagi, ditambah dengan bombardir iklan di media massa yang menduduki 40 persen tontonan anak. “Anak-anak mudah sekali tertarik pada makanan dan minuman yang diiklankan,” urai Tulus.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement