REPUBLIKA.CO.ID, Banyak kaum ibu yang merasa harus jadi ibu super alias supermom. Mereka membereskan rumah dan memasak di pagi hari, lalu berangkat bekerja, dan kembali 'sibuk' di rumah sepulangnya dari tempat kerja.
Menurut psikolog Dra Clara Istiwidarum Kriswanto MA CPBC, tidak mungkin seluruh urusan rumah tangga bisa diselesaikan sendiri oleh seorang wanita. ''Mereka harus bisa mengatur urusan rumah tangga sehingga tidak perlu menjadi supermom,'' katanya.
Menjadi supermom, kata Clara, terkadang sesuatu yang tak bisa terelakkan. Sebab, keadaan begitu mendesak sehingga seluruh masalah rumah tangga harus ditangani sendiri. Ada juga, yang memang kesengajaan dari si wanita sendiri karena tidak percaya dengan pekerjaan orang lain.
Untuk menangani semua urusan keluarga waktu 24 terasa tak cukup. ''Tangan yang hanya dua ini tidak bisa menyulap puluhan bahkan hingga ratusan pekerjaan yang silih berganti setiap hari,'' katanya.
Tuntutan menjadi wanita super memang terasa mutlak. Tapi, apakah seorang ibu harus melakukan semua tugas itu? Kalau jawabannya 'ya', kata Clara, mungkin banyak wanita yang memilih tidak menikah. Supermom adalah dianggap suatu kebutuhan yang harus dilakukan ketika harus berkeluarga.
Pernyataan itu, lanjut Clara, bukan dengan maksud menakut-nakuti wanita yang belum berumah tangga. Sebab tugas-tugas itu memang pasti harus dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari.
Sebab, dilihat dari kedudukan dan perannya, wanita harus sebagai ibu, istri, ibu rumah tangga, dan diri sendiri.
Peran ibu untuk anak-anak yang dilahirkan. Peran istri untuk suami yang dinikahinya. Semua peran itu, jelas Clara, menyebabkan wanita menjadi manajer domestik atau ibu rumah tangga.
Belum lagi sebagai wanita karier bila dia bekerja. Yang tak kalah pentingnya adalah sebagai diri sendiri yang harus menjaga hubungan dengan mertua, ipar, tante hingga tetangga. ''Ini yang menyebabkan diri sendiri paling belakangan untuk diurusi,'' tambahnya.