Selasa 27 May 2014 06:50 WIB

Mengajarkan Anak Melaporkan Hal Buruk (1)

Rep: Desy Susilawati/ Red: Indira Rezkisari
Ibu menasehati anak (lustrasi).
Foto: Republika/Musiron
Ibu menasehati anak (lustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam kehidupannya anak akan mengalami beragam peristiwa, baik di lingkup keluarga maupun lingkungan sekitarnya. Ketika melihat atau mendengar sesuatu yang buruk terjadi pada temannya, anak mesti mengedepankan prinsip 'see it, hear it, tell it'. 

Kenyataannya, sebagian anak diam saja ketika melihat atau mendengar orang lain tersakiti. Sebagian kecil saja yang berani melaporkan kejadian yang mengganjal tersebut kepada orang dewasa yang dianggapnya bisa membantu. Anak yang demikian bukanlah sembarang pengadu.

Bagaimana agar anak bisa menentukan hal-hal yang perlu diadukan? Psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, Vera Itabiliana Hadiwidjojo Psi, menjelaskan, anak perlu mengadukan setiap kejadian yang merugikan atau menyakiti.

Korbannya bisa saja dirinya sendiri atau orang lain. Anak tak boleh mendiamkan pemukulan, pemerasan atau pemalakan, pelecehan seksual secara verbal dan fisik, ataupun kekerasan seksual.

Kepedulian dan keberanian untuk melaporkan kejadian yang dilihatnya mengganjal tentu tak tumbuh dengan sendirinya. Anak perlu mendapatkan pengasuhan yang tepat untuk mampu melakukannya. Pada usia dua tahun, saat anak sudah mengerti dan bisa melakukan komunikasi dua arah, orang tua dapat mulai memberikan pemahaman yang tepat tentang mengadu.

Sebelumnya, orang tua harus mengajarkan anak mengenai norma keluarganya. Dengan begitu, anak akan tahu apa saja yang harus ia laporkan. Misalnya, untuk bisa mengenali bentuk-bentuk pelecehan seksual, anak terlebih dahulu perlu mengetahui bagian pribadinya tak boleh disentuh orang lain. Selanjutnya, ajarkan anak untuk melaporkan kepada orang tua atau orang dewasa lainnya yang dipercaya ketika ia melihat temannya disentuh bagian pribadinya oleh orang lain.

Anak semestinya tak diam saja ketika mengetahui kejadian buruk menimpa temannya. Ia harus peduli dengan yang dilihat ataupun didengarnya. Anak yang seperti itu adalah anak yang memiliki empati terhadap sesama.

Rasa empati ini bisa dibentuk dengan latihan sehari-hari. Misalnya, saat pergi bersama orang tua, ajarkan anak membelikan oleh-oleh untuk keluarga yang ada di rumah.

Lantas, ketika memiliki makanan di rumah, ajarkan anak untuk berbagi. Bisa juga dengan mengajarkan anak untuk menyumbangkan pakaiannya yang layak pakai namun sudah tidak digunakan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement