REPUBLIKA.CO.ID, Tanpa adanya empati, anak tidak akan peduli terhadap orang lain. Ia merasa selama kejadian buruk itu tak menimpanya maka itu bukanlah masalah.
Anak cenderung selalu mencari aman untuk dirinya sendiri dan menganggap selama itu tidak terjadi padanya maka peristiwa nahas tersebut bukan masalah. Alhasil, ia menjadi anak yang gagal mengetahui mana yang benar dan mana yang salah.
“Jelaskan pada anak jika ia tidak mau melapor maka kejadian itu tak akan berhenti dan suatu saat bisa saja terjadi pada dirinya,” ujar Psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, Vera Itabiliana Hadiwidjojo Psi.
Keberanian untuk melapor juga harus ditanamkan dalam diri anak. Sebelumnya, orang tua harus melacak penyebab ketidakberanian anak untuk membuka mulut. Bisa jadi, anak diancam oleh pelaku sampai ia berontak ataupun mengadu.
“Orang tua harus meyakinkan anak bahwa ancaman yang ditujukan pada anak tidak akan terjadi,” ucap Vera.
Anak yang kerap dimarahi meski telah melakukan hal yang tepat juga akan enggan melapor. Ia kapok melapor karena takut dimarahi dan dianggap bersalah atas kejadian buruk yang dialami, disaksikan, atau didengarnya. “Kalau sudah telanjur, perbaiki pola komunikasi antara orang tua dan anak,” ujar Vera.
Andaikan pelaku kejahatannya ialah teman sekolah, anak harus tetap yakin melaporkan adalah tindakan yang tepat. Ia bukanlah pengkhianat.
Ajarkan anak mencari cara lain melapor kepada guru agar teman-teman di sekolahnya tidak identitas pelapor. “Misalnya, dengan menelepon guru, membuat surat, atau mengirimkan surel,” saran Vera.
Andaikan kawanan anak berperilaku menantang tersebut mengetahui ananda merupakan si pengadu, anak bisa melakukan pembelaan diri. Ajarkan anak untuk tetap teguh dan yakin pada prinsipnya. Jika respons dari kawanan tersebut membuat anak kesulitan untuk menghadapinya, anak harus berani melaporkannya kepada guru dan orang tua.