REPUBLIKA.CO.ID, Abghadlul halal 'indallahi ath thalaq. Perkara halal, tapi dibenci Allah SWT: perceraian. Tak ada yang pernah menginginkan rumah tangga yang dibangun kandas di tengah jalan. Namun, terpaan dan ujian acapkali datang menghampiri. Butuh komitmen kuat antara kedua pasangan.
Kata perceraian itu pula yang pada awalnya tak pernah terlintas di kamus hidup Ny Nunrlina Effendi. Perempuan berusia 35 tahun itu, layaknya wanita manapun, mendambakan kelanggengan berumah tangga. Hidup bahagia sampai dipertemukan di surga.
Tapi, dengan berat hati menggugat cerai sang suami. Ia sendiri menyayangkan keputusan ini. Apalagi, saat itu usia pernikahan mereka masih seumur jagung. Pernikahan mereka berjalan efektif hanya tiga bulan. Keputusan tersebut diambil menyusul sikap temperamental sang suami. “Saya salah sedikit saja bisa murka. Barang-barang di rumah jadi sasaran. Setelah itu minta maaf, tapi kumat lagi,'' katanya. Upaya mediasi ditempuh, tapi nihil hasil. Kini, ia pun rela untuk menjalani hidup tanpa pendamping.
Pemicu perceraian bisa juga muncul akibat faktor ekonomi. Yudi Sofyandi (38 tahun) mengalami hal itu. Meskipun dari pernikahannya telah dikaruniai dua anak, ia tetap melanjutkan gugatan cerainya ke istri. Fondasi cinta keduanya tak mampu lagi menghadang prahara yang menerjang rumah tangga mereka.
Pertengkaran demi pertengkaran muncul saat Yudi kehilangan pekerjaan. Lambat laun, kebutuhan sehari-hari dipenuhi oleh istrinya. Kondisi ini berlangsung lebih dari lima tahun. Ia mengaku salah. Tapi, mahligai pernikahan tak lagi bisa disatukan. “Daripada anak-anak menderita melihat pertengkaran terus-menerus lebih baik berpisah,'' katanya.
Kisah tragis kandasnya rumah tangga terus datang silih berganti. Eskalasi meningkat terutama di kota-kota metropolitan. Di Jakarta Selatan, misalnya. Staf Hubungan Masyarakat Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Dra Ida Nursaadah, menjelaskan angka perceraian 2012 yang masuk ke PA Jakarta Selatan setiap bulan mengalami peningkatan. Rata-rata per bulan lebih dari 200 kasus yang didaftarkan, kecuali September dan Oktober angkanya melebihi 300 kasus.
Setiap hari, katanya, PA Jaksel termasuk pengadilan yang ramai menangani kasus-kasus perceraian dan keluarga. Dari lima ruang sidang, empat yang digunakan. Setiap ruangan, kata Ida, minimal menangani 20 perkara, jadi sehari bisa 80-an perkara.
Ironisnya, dari jenis perkara yang diterima PA Jaksel angka tertinggi, yaitu cerai gugat (gugatan cerai yang dilayangkan pihak istri--Red). Dari 3.140 perkara yang masuk, 2.066 berupa perkara cerai gugat, sedangkan cerai talak jauh di bawahnya 823 perkara. “Mungkin mereka merasa mapan sehingga bisa hidup mandiri,'' ungkapnya.
Perkara rumah tangga yang masuk ke PA Jaksel, lanjutnya, tidak selamanya berakhir dengan perceraian. Karena majelis hakim berkewajiban untuk mendamaikan pasangan suami istri yang berperkara tersebut. Mereka yang sadar dan ingin merajut kembali hubungan harmonis, mencabut perkaranya. Tapi, tidak sedikit pasangan suami istri yang bersikeras melanjutkan bercerai.